Sidang Pendahuluan Digelar Hari Ini, Partai Buruh Uji Ambang Batas Parlemen

Sidang Pendahuluan Digelar Hari Ini, Partai Buruh Uji Ambang Batas Parlemen

Jakarta, KPonline – Partai Buruh mengajukan pengujian Materiil Pasal 414 ayat (1) sebagaimana telah dimaknai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023, tanggal 29 Februari 2024, Pasal 415 ayat (1), dan Pasal 415 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) serta Pasal 82 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Sidang pendahuluan perkara yang diregistrasi dengan Nomor 131/PUU-XXIII/2025 ini dilaksanakan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (13/8/2025).

Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.” Norma ini telah dimaknai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023, tanggal 29 Februari 2024, sebagai berikut: “Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.”

Said Salahudin selaku kuasa hukum Partai Buruh (Pemohon) dalam persidangan mengatakan isu konstitusional yang dipersoalkan dalam permohonan tersebut mengenai ketentuan ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilu untuk diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi di DPR atau yang dikenal dengan istilah ambang batas parlemen (parliamentary threshold). “Pemohon menyadari bahwa aturan ambang batas parlemen masih dinilai konstitusional dan dinyatakan MK sebagai kewenangan dari pembentuk undang-undang atau open legal policy,” ujarnya.

Namun Pemohon mengacu pada putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang pernah membuka ruang pengujian ulang dan bahkan membatalkan norma yang sebelumnya ditetapkan MK sebagai kebijakan hukum terbuka yaitu terkait dengan aturan presidential threshold. Menurut Pemohon, pendirian MK dapat berubah dengan merujuk pada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 juncto Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023, yang menegaskan bahwa MK memiliki kewenangan untuk meninjau kembali materi atau substansi undang-undang, termasuk yang sebelumnya telah dinyatakan konstitusional, sepanjang terbukti bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan prinsip rasionalitas.

Oleh karena itu, Pemohon berpendapat bahwa ketentuan ambang batas parlemen, yang sebelumnya dinilai sebagai open legal policy oleh MK, dapat diberi penafsiran baru sebagaimana halnya presidential threshold—yakni tidak lagi bersifat absolut sebagai kebijakan hukum terbuka—apabila bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan prinsip rasionalitas.

Sumber: mkri.id