Jakarta, KPonline-Narasi kenaikan upah harus mempertimbangkan kondisi ekonomi pengusaha terus didengungkan dari waktu ke waktu. Namun, pengalaman dua dekade terakhir menunjukkan pola yang sama yaitu tanpa gerakan buruh yang menagih kewarasan kebijakan, formula pemerintah selalu cenderung berpihak kepada perhitungan paling minimalis.
Kini, ketika pengumuman UMP 2026 molor dan penuh misteri, serikat pekerja kembali menjadi aktor kunci yang menahan laju keputusan sepihak yang berpotensi merugikan jutaan buruh Indonesia.
Satu hal menjadi semakin nyata dan sulit dibantah bahwa tanpa tekanan kolektif dari serikat pekerja, nilai upah minimum tahun 2026 hampir pasti sudah diketok palu dengan angka yang tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya, angka yang jelas-jelas belum menjamin hidup layak.
Di bawah regulasi lama, pemerintah telah bertahun-tahun mengumumkan UMP pada 21 November. Namun tahun ini, tenggat tersebut lewat begitu saja. Tidak ada pengumuman, tidak ada angka resmi, tidak ada kepastian.
Jika serikat pekerja diam, publik hanya akan disuguhi alasan teknis tentang penyesuaian aturan, harmonisasi formula, atau kaji ulang kondisi ekonomi nasional. Padahal, mustahil mengabaikan fakta bahwa serikat pekerja sedang melawan keras formula upah baru yang dianggap melanggengkan upah murah.
Para ahli hubungan industrial sendiri berkali-kali mengingatkan bahwa
ketika serikat pekerja kuat, keputusan upah minimum menjadi proses negosiasi; ketika serikat pekerja lemah, keputusan upah menjadi sekadar formalitas.
Dan untuk nilai upah minimum 2026, serikat pekerja-lah yang kembali memaksa pemerintah membuka ruang tawar-menawar itu.
Bayangkan Jika Tidak Ada Serikat Pekerja, UMP 2026 Pasti Sudah Disegarkan dengan Kenaikan Ala Kadarnya.
Mari berbicara lugas. Dalam banyak momentum penetapan UMP sebelumnya, pola pemerintah nyaris identik:
• Kenaikan berada pada kisaran rendah,
• Pemerintah lebih condong pada kalkulasi pengusaha,
• Argumen stabilitas ekonomi dijadikan tameng untuk menekan angka,
• Dan buruh diminta mengerti kondisi industri.
Sejarah membuktikan, terutama setelah lahirnya UU Cipta Kerja, formula upah baru cenderung menghasilkan kenaikan di bawah kebutuhan riil buruh.
Artinya, jika serikat pekerja tidak menolak, tidak melakukan aksi, tidak mengajukan data tandingan, maka UMP 2026 hampir pasti sudah diumumkan dengan angka:
•sekadar naik,
•sekadar memenuhi formula,
•sekadar menjaga kepentingan pemodal,
•dan tidak sekadar cukup untuk hidup layak.
Dalam banyak analisis ekonomi ketenagakerjaan, formula upah tanpa negosiasi selalu menghasilkan kenaikan kecil yang tidak mengimbangi inflasi, kenaikan harga pangan, transportasi, perumahan, pendidikan, dan biaya hidup urban.
Dengan kata lain, tanpa serikat pekerja, upah minimum hanyalah angka administratif, bukan instrumen kesejahteraan.
Serikat pekerja selama ini sering dipersepsikan sebagai kelompok pengganggu stabilitas industri. Namun faktanya, mereka adalah satu-satunya institusi sosial yang mampu membawa data kebutuhan hidup layak ke meja perundingan, menagih komitmen konstitusi tentang upah layak, menolak formula yang tidak realistis dan menjadi benteng terakhir melawan politik upah murah.
Tanpa mereka, konsep KHL (Kebutuhan Hidup Layak) hanya akan menjadi dokumen formal, bukan alat ukur kebijakan.
Itu sebabnya UMP 2026 menjadi pertarungan penting, dimana bukan hanya sekadar menentukan angka, tetapi menentukan masa depan kelas pekerja Indonesia.
Kemudian, di tengah kuatnya tekanan investor dan pengusaha yang selalu menuntut upah kompetitif, buruh tidak punya ruang lobi seperti itu.
••Buruh tidak punya asosiasi pemilik modal.
••Buruh tidak punya akses langsung ke meja kabinet.
••Buruh tidak punya kekuatan finansial untuk membayar konsultan ekonomi atau pelobi kebijakan.
Yang buruh punya hanyalah:
-kekuatan massa,
-kekuatan solidaritas,
-dan keberanian serikat pekerja untuk bicara lantang ketika pemerintah mencoba mengabaikan posisi mereka.
Itulah alasan kenapa serikat pekerja adalah satu-satunya mekanisme penyeimbang di tengah permainan kekuasaan yang didominasi kepentingan investasi.
Mari simulasikan kondisi jika serikat pekerja minggir dari arena.
Pemerintah tinggal menghitung berdasarkan formula yang sudah diprotes bertahun-tahun:
• Menyenangkan pengusaha,
• Menyetujui kenaikan angka kecil,
• Menjaga stabilitas makro dengan mengorbankan buruh mikro,
Menutup seluruh proses dengan konferensi pers singkat.
Selesai.
Buruh menerima upah yang tidak layak.
Keluarga buruh kembali menyesuaikan hidup dengan gaji pas-pasan.
Tidak ada ruang keberatan.
Tidak ada aksi penolakan.
Tidak ada alternatif data.
Tidak ada tekanan publik.
Tidak ada perlawanan.
Inilah yang disebut banyak ekonom sebagai politik upah satu arah atau dikenal politik upah murah. Dan itu hanya mungkin terjadi ketika serikat pekerja dimatikan, dilemahkan, atau diabaikan.
Fakta Lapangan Membuktikan bahwa setiap Kenaikan Upah Layak, selalu berawal dari tekanan serikat.
Lihat catatan 20 tahun terakhir:
•ketika ada aksi besar, upah cenderung naik lebih tinggi,
•ketika ada penolakan serikat, pemerintah membuka ruang dialog,
•ketika serikat kuat, kenaikan upah mendekati kebutuhan hidup,
•ketika serikat dilemahkan, kenaikan upah jatuh tak karuan.
Ini bukan teori.
Ini pola historis.
Singkatnya, serikat pekerja atau serikat buruh (SP/SB) adalah penentu peradaban, bukan sekadar pihak penekan.
Narasi bahwa serikat pekerja hanya ribut soal upah adalah reduksi yang keliru.
Justru merekalah yang menjaga agar:
•kehidupan buruh tetap manusiawi,
•kebijakan tidak dikuasai pemodal,
•pemerintah tidak sewenang-wenang,
•dan upah minimum tidak menjadi simbol upah murah.
Penetapan UMP 2026 membuktikan hal itu.
Jika serikat pekerja tidak bersuara, upah minimum Indonesia sudah pasti jatuh pada angka murah seperti tahun-tahun sebelumnya dan buruh kembali menjadi korban dari proses yang seolah-olah teknokratis tetapi sebenarnya politis.
Karena itu, di tengah kabut misteri UMP 2026, satu hal harus diakui bahwa Serikat pekerja bukan sekadar penting. Mereka adalah fondasi terakhir yang menjaga agar upah minimum tidak ditetapkan sesuka hati.