Purwakarta, KPonline – Dalam banyak pabrik yang tersebar di Nusantara, ada satu kekuatan yang tak bisa diabaikan keberadaannya, yaitu serikat pekerja. Dimana, ia bukan sekadar organisasi, tetapi benteng terbaik dan terakhir bagi para buruh yang kerap menjadi korban ketimpangan relasi kerja. Di balik seragam kerja dan helm proyek, tersimpan harapan-harapan yang dipercayakan kepada serikat, yakni tentang keadilan, kepastian, dan perlindungan.
Serikat pekerja hadir bukan untuk melawan perusahaan, melainkan menjadi jembatan antara kepentingan pekerja dan manajemen. Dalam dinamika industri yang cepat berubah, serikat adalah penjaga agar hak-hak buruh untuk tak tergerus oleh tekanan ekonomi, efisiensi ekstrem, atau kebijakan sepihak.
Di banyak pabrik, serikat pekerja menjadi satu-satunya forum tempat suara-suara kecil bersatu menjadi gema besar. Saat status kerja tidak jelas, ketika upah tak sesuai UMK, atau saat sistem kerja makin menekan, serikatlah yang bergerak pertama. Mereka mengumpulkan data, mengadvokasi, hingga berani duduk berhadapan dengan manajemen untuk menuntut keadilan.
“Serikat pekerja adalah pagar hidup. Serikat pekerja harus kuat menghadapi tantangan dari luar maupun dalam. Jika ada PHK sepihak, serikat turun. Jika ada pelecehan aturan, serikat lawan. Kalau bukan serikat pekerja, siapa lagi?”.
Setidaknya, kehadiran serikat pekerja mampu mengubah arah kebijakan perusahaan. Dari yang semula menutup mata terhadap jam lembur berlebih, menjadi lebih peduli pada keselamatan kerja. Dari yang tak pernah mengajak bicara buruh kontrak, kini membuka ruang dialog tripartit.
Namun, menjadi benteng juga berarti menjadi sasaran. Tidak sedikit pengurus serikat yang mengalami intimidasi, mutasi sepihak, bahkan upaya kriminalisasi. Tapi mereka bertahan. Karena mereka percaya, menjaga martabat buruh adalah amanah yang tak bisa dibeli oleh kenyamanan pribadi.
Serikat pekerja adalah bukti bahwa buruh tidak pernah sendiri. Mereka tidak lagi menghadapi pengusaha sendirian, tapi dalam satu barisan yang terorganisir, terlatih, dan siap memperjuangkan perubahan.
“Kalau serikat kuat, buruh selamat. Kalau serikat lemah, buruh jadi sasaran empuk eksploitasi”
Di pabrik-pabrik tempat jam kerja panjang menjadi rutinitas, tempat target harian menjadi tekanan psikologis, dan tempat kontrak kerja menjadi ketidakpastian yang menggantung, serikat pekerja menjadi satu-satunya tameng. Mereka bukan hanya memperjuangkan gaji atau tunjangan, tapi juga memperjuangkan harga diri manusia.
Buruh bukan roda gigi. Mereka manusia. Dan serikat pekerja memastikan bahwa kemanusiaan itu tetap dihargai di tengah arus industri yang kerap melupakan sisi-sisi nurani.
Dalam sejarah perburuhan Indonesia, tak sedikit perubahan besar lahir dari gerakan serikat. Mulai dari penghapusan sistem kerja rodi, pengesahan UU Ketenagakerjaan, hingga penolakan terhadap regulasi yang melemahkan buruh seperti Omnibus Law. Semua dicapai karena ada yang berani berdiri di garis depan: serikat pekerja.
Di akhir hari, ketika lonceng pabrik berhenti dan semua kembali ke rumah masing-masing, perjuangan serikat belum usai. Mereka terus bekerja, menulis laporan, mempersiapkan strategi, hingga mendengarkan keluh kesah anggota.
Mereka adalah benteng. Benteng terakhir. Tapi juga benteng terbaik. Karena selama masih ada serikat yang hidup dan tegak, harapan buruh untuk hidup layak akan selalu ada.