Purwakarta, KPonline – Dalam derasnya arus industrialisasi dan modernisasi ekonomi, nasib kaum pekerja seringkali terombang-ambing diantara kepentingan modal dan kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya berpihak.
Namun, di balik semua itu, masih ada satu lawan tangguh yang tetap berdiri kokoh menghadapi ketidakadilan, yaitu, Serikat Pekerja. Mereka bukan sekadar organisasi, melainkan simbol perlawanan dan pengingat bahwa keadilan sosial bagi kaum buruh tidak pernah datang dengan sendirinya, melainkan diperjuangkan.
Serikat pekerja menjadi wadah yang menampung jeritan para buruh dari gaji yang tak sesuai, jam kerja berlebih, hingga status kontrak yang tak kunjung berubah menjadi tetap.
“Kalau bukan kita yang bersuara, siapa lagi? Serikat pekerja hadir untuk memastikan tidak ada pekerja yang diperlakukan sewenang-wenang,” ujar Fuad BM, Ketua Ketua Konsulat Cabang (KC) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kabupaten Purwakarta, saat ditemui dikantornya. Minggu, (5/10/2025).
Menurutnya, banyak perusahaan masih memperlakukan pekerja seolah hanya sebagai alat produksi, bukan manusia yang memiliki hak dan martabat. “Ada pekerja yang sudah bertahun-tahun kerja tapi masih status kontrak, ada pula yang dipecat sepihak saat menuntut hak. Di situ serikat hadir, namun bukan untuk melawan perusahaan, tapi untuk melawan ketidakadilan,” tambahnya.
Kisah ketidakadilan di tempat kerja sering kali terdengar sama. Buruh menanggung beban berat, sementara kesejahteraan mereka kerap tertinggal jauh dari keuntungan perusahaan. Upah yang tak cukup untuk menutup biaya hidup, sistem kerja kontrak tanpa kepastian, hingga praktik union busting (pemberangusan serikat) masih menghantui banyak pekerja.
Kemudian menurutnya, Serikat pekerja sejatinya adalah bagian dari mekanisme demokrasi industri. Disinilah ruang dialog antara pengusaha dan pekerja menemukan bentuknya. Namun, tidak jarang ruang itu justru dipersempit oleh manajemen perusahaan yang alergi terhadap kritik.
Padahal, sebagaimana dijelaskan UUD 1945 Pasal 28E dan UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, setiap pekerja memiliki hak untuk berserikat dan memperjuangkan kepentingan kolektifnya. Artinya, keberadaan serikat bukan ancaman bagi perusahaan, melainkan mitra untuk menciptakan iklim kerja yang sehat dan adil.
“Di negara maju, serikat buruh menjadi bagian penting dari pembangunan ekonomi. Mereka menjaga keseimbangan antara profit dan keadilan. Tapi di sini, seringkali serikat masih dipandang sebagai musuh,” ujar Fuad BM.
Ia pun menegaskan, selama sistem ekonomi masih menempatkan buruh di posisi paling lemah, serikat pekerja akan terus menjadi lawan tangguh ketidakadilan.
“Serikat pekerja itu seperti keluarga besar. Ketika satu orang tertindas, semua turun tangan,” kata Fuad. “Kami tidak hanya berjuang untuk hari ini, tapi untuk masa depan anak-anak kami agar tidak lagi mengalami nasib yang sama.”
Serikat pekerja mungkin sudah menorehkan banyak kemenangan. Mulai dari kenaikan upah minimum, pembatalan aturan upah murah, hingga penolakan terhadap pasal-pasal merugikan dalam UU Cipta Kerja dimana MK akhirnya memenangkan Serikat Pekerja dengan menyatakan bahwa 21 pasal dalam UU Cipta Kerja bermasalah dan harus diubah. Namun perjuangan belum selesai. Dan itu selama ketidakadilan masih berwujud dalam berbagai bentuk baru. mulai dari sistem kerja fleksibel, outsourcing tanpa batas, hingga digitalisasi tenaga kerja yang sering kali menghapus hubungan kerja formal.
“Perjuangan ini tidak akan pernah berhenti selama masih ada buruh yang tertindas,” ucap Fuad BM di akhir wawancara. “Serikat pekerja bukan musuh negara, bukan pula penghalang investasi. Kami adalah penjaga nurani keadilan di tengah kerasnya dunia industri”.
Serikat pekerja adalah cermin dari perjuangan panjang kelas pekerja untuk diakui sebagai manusia seutuhnya. Mereka adalah benteng yang berdiri di antara buruh dan ketidakadilan, memastikan tidak ada hak yang dirampas diam-diam.
Namun, bagi sebagian buruh, kehadiran serikat pekerja menjadi cahaya kecil di lorong gelap perjuangan mereka. Serikat bukan hanya alat negosiasi, tetapi juga sekolah kehidupan, dimana tempat buruh belajar hukum, memahami hak-hak ketenagakerjaan, dan berani berbicara.
Dikesempatan yang sama, Dewi, seorang buruh perempuan anggota serikat di sektor otomotif mengatakan bahwa “Serikat itu bukan kelompok pembangkang. Kami hanya ingin memastikan bahwa hak-hak dasar pekerja dijamin, tidak dipermainkan”.
Dan baginya, solidaritas adalah nyawa perjuangan. Ia yang membuat serikat tetap bertahan meski diterpa tekanan, dan intimidasi
Selain itu solidaritas juga merupakan suatu kekompakan yang lahir dari rasa senasib dan sepenanggungan. Dari mogok kerja hingga aksi demonstrasi, semua dilakukan dengan satu tujuan yaitu keadilan.
Selanjutnya, Dewi bercerita bagaimana dirinya dulu takut bersuara karena khawatir dipecat. Namun setelah bergabung dengan serikat, ia memahami bahwa ketakutan buruh justru membuat ketidakadilan semakin kuat.
“Selama masih ada buruh yang digaji rendah, dikontrak tanpa kepastian, dan diintimidasi karena bersuara. Selama itu pula serikat pekerja akan terus berdiri tegak. Mereka bukan hanya lawan tangguh ketidakadilan, tapi juga penjaga api solidaritas yang membuat dunia kerja lebih manusiawi,” tutupnya.