Medan,KPonline, – Secara umum, semua perusahaan menginginkan buruhnya memiliki sense of belonging “rasa memiliki terhadap perusahaan”Istilah ini selalu digembar-gemborkan dalam seminar manajemen, brosur perekrutan, hingga pidato motivasi para eksekutif. Harapannya jelas, buruh menjadikan perusahaan tempatnya bekerja sebagai “rumah kedua”, sehingga mereka loyal, disiplin, bahkan rela berkorban demi keberlangsungan, pertumbuhan, dan perkembangan perusahaan.
Pada hakikatnya hubungan buruh dengan pengusaha dapat dianalogikan sebagai hubungan simbiosis mutualisme, sebuah hubungan keterikatan erat antara dua organisme yang berbeda. Seperti hubungan antara lebah dengan bunga, lebah memperoleh nektar untuk bertahan hidup, sementara bunga mendapatkan serbuk sari untuk keberlangsungan reproduksi. Begitu juga hubungan buruh dengan pengusaha disatu perusahaan, buruh mendapatkan pekerjaan guna melanjutkan kehidupannya berserta keluarganya, sementara pengusaha memperoleh tenaga kerja untuk menggerakkan roda produksi dan meraih keuntungan. Dari hubungan ini negara diuntungkan, roda ekonomi tetap berputar dan ledakan pengangguran bisa diantisifasi.
Pertanyaan mendasar pun muncul, apakah pengusaha telah berlaku adil dan buruh benar-benar diperlakukan sebagai manusia?
Fakta hari ini justru menunjukkan kebalikannya. Hubungan buruh dan pengusaha di banyak perusahaan bukanlah simbiosis mutualisme, melainkan parasitisme. Buruh dipaksa mengejar target yang tak manusiawi, dieksploitasi tanpa henti, lalu dibayar dengan upah murah yang jauh dari layak. Semua dilakukan demi memuaskan kerakusan pengusaha untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Lebih ironis lagi, penguasa (pemerintah) yang seharusnya menjadi penyeimbang juga menjadi parasit dengan membebani berbagai macam pungutan, pajak, cukai dan pungutan lainnya kepada pengusaha sehingga dampaknya kepada naiknya harga pokok produksi.
Buruh dituntut loyal, disiplin, dan punya sense of belonging kepada perusahaan, sementara perusahaan dan negara abai terhadap rasa keadilan buruh. Bagaimana mungkin rasa memiliki bisa tumbuh, jika yang ada hanya rasa terhisap, tertindas, dan dikhianati.
Rasa memiliki tidak lahir dari slogan. Ia tumbuh dari keadilan. Buruh akan merasa bagian dari perusahaan jika upahnya layak,kesejahteraannya terjamin, pekerjaannya aman dari PHK sewenang-wenang, serta aspirasinya dihargai. Sebaliknya, ketika perusahaan hanya menuntut loyalitas tanpa memberi kepastian kesejahteraan, maka sense of belonging hanyalah manipulasi emosional untuk mengekang buruh agar tetap patuh ditindas dan dihisap.
Kenyataan yang harus diakui oleh pengusaha dan penguasa (pemerintah) buruhlah yang menciptakan nilai tambah, yang menghidupkan mesin, dan yang menjadi denyut nadi keberlangsungan perusahaan. Tanpa buruh, mesin hanya besi mati, gedung hanyalah tembok kosong, dan visi misi direksi hanyalah jargon hampa. Maka sense of belonging bukan sekadar “rasa memiliki buruh kepada perusahaan”, melainkan sebaliknya,pengusalah yang seharusnya pertama-tama memiliki rasa tanggung jawab terhadap buruhnya.
Sense of belonging sejati tidak bisa hanya diminta. Ia harus dibangun bersama, melalui keadilan, penghargaan, dan pengakuan bahwa kekuatan perusahaan ada di tangan buruh. Jika hal itu terwujud, maka perusahaan tidak lagi membutuhkan tembok tinggi, satpam berlapis,biaya gratifikasi berkedok koordinasi untuk “mengamankan” produksi. Buruh yang sadar akan menjelma menjadi benteng kokoh, menjaga jalannya produksi bukan semata demi kantong pengusaha, melainkan demi kehidupan kolektif para buruh sendiri.
Mari berbicara jujur, sense of belonging tidak akan pernah lahir di tanah yang gersang oleh upah murah dan sistem kerja penuh penindasan dan sarat eksploitasi. Selama buruh diperlakukan sebagai mesin, bukan manusia, rasa memiliki hanyalah ilusi palsu, buruh akan terus dipaksa tunduk, sementara laba ditelan segelintir elite pemilik modal dan penguasa.
Di sinilah letak senjata politik kelas buruh, jika buruh membangun sense of belonging kepada sesama buruh,bukan kepada pengusaha maka arah perusahaan akan berbalik. Buruhlah yang sesungguhnya memegang kunci produksi, bukan direksi yang hanya pandai membuat keputusan di balik meja. Buruhlah yang menentukan hidup dan matinya perusahaan, bukan modal pemilik saham.
Oleh karenanya, sense of belonging harus diarahkan bukan sekadar untuk menjaga perusahaan, melainkan untuk merebut kendali atas perusahaan.
Saat buruh sadar bahwa mereka adalah urat nadi produksi, maka pengusaha dan penguasa kehilangan legitimasi untuk mengatur. Pada titik itu, perusahaan bukan lagi “rumah kedua”, melainkan ladang perjuangan. Dan buruh bukan lagi sekadar penjaga, tetapi pemilik sah atas hasil kerja mereka sendiri. (Anto Bangun).