Jakarta, KPonline – Seminar Hukum Ketenagakerjaan dengan tema “Disharmonis, Ancaman Kaum Buruh” resmi digelar pada Selasa, 2 Desember 2025 bertempat di Hotel Gren Alia, Jakarta. Pada sesi pertama, Dr. Sugiyanto, S.H., M.H., hadir sebagai pemateri pembuka dan langsung menyampaikan pandangan strategis terkait dinamika hubungan industrial di Indonesia.
Acara ini dihadiri para pimpinan, pengurus, dan jajaran FSPMI dari berbagai wilayah, termasuk perwakilan sektor-sektor industri di FSPMI serta peserta seminar yang memenuhi ruang acara.
Dalam pemaparannya, Dr. Sugiyanto menyampaikan bahwa seminar ini awalnya dirancang dalam format diskusi panel, namun karena keterbatasan waktu beliau memilih untuk fokus pada inti persoalan yang menjadi ancaman disharmoni dalam hubungan kerja. “Setelah materi selesai, kita dapat lanjutkan dalam bentuk tanya-jawab,” ujarnya.
Transformasi Besar Pasca UU 21/2000
Dengan pengalaman lebih dari tiga dekade bekerja di PT Pos, Dr. Sugiyanto menegaskan bahwa perubahan regulasi sejak hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh membawa dampak besar bagi hubungan industrial, khususnya di BUMN.
Sebelum UU tersebut berlaku, pola hubungan industrial di BUMN masih mengacu pada aturan BNS yang identik dengan komando dan instruksi satu arah. Namun setelah UU 21/2000, kedudukan pengurus serikat pekerja memperoleh legitimasi dan berada dalam posisi setara dengan direksi perusahaan.
“Perubahan itu tidak mudah diterima oleh BUMN. Karena sebelumnya model hubungan industrial lebih dominan perintah, tetapi setelah UU 21/2000, serikat pekerja hidup berdasarkan undang-undang dan memiliki kedudukan yang kuat,” jelasnya.
Tugas Serikat Pekerja dan Pengusaha Harus Dipahami Bersama
Dr. Sugiyanto kemudian menegaskan kembali amanah Undang-Undang bahwa Serikat Pekerja memiliki fungsi mencerdaskan, melindungi, dan memperjuangkan kepentingan anggotanya. Sedangkan pengusaha, berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, berkewajiban menjaga keberlangsungan usaha, menghasilkan keuntungan, serta menyejahterakan pekerjanya.
“Jika kedua organisasi ini tidak berada pada persepsi yang sama, maka benturan pasti terjadi. Dari situlah muncul perselisihan hubungan industrial,” tegasnya.
Perubahan Mekanisme Perselisihan: Lebih Cepat, Lebih Tegas
Dalam materinya, beliau juga menyinggung evolusi penyelesaian perselisihan. Jika dulu penyelesaian dilakukan melalui BIPH yang prosesnya panjang dan dapat berlanjut hingga PTUN, saat ini perselisihan dapat langsung dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Mekanisme ini dinilai lebih tegas dan jelas jalurnya.
PKB Komprehensif: Kunci Mencegah Disharmonis
Sebagai penutup, Dr. Sugiyanto menekankan pentingnya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang komprehensif, rinci, dan lengkap untuk mencegah konflik di kemudian hari.
“PKB yang baik menciptakan kenyamanan bagi pekerja, memastikan usaha tetap berkelanjutan, serta menghindarkan disharmoni hubungan kerja. Ini sangat penting untuk dipahami bersama,” tutupnya.



