Semarang Jangan Jadi Ibu Kota Provinsi dengan Upah Buruh Termurah

Semarang Jangan Jadi Ibu Kota Provinsi dengan Upah Buruh Termurah

Semarang, KPonline – Menjelang penetapan Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) Semarang tahun 2026, puluhan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJAT) Presidium Kota Semarang menggeruduk Kantor Walikota Semarang di Jl. Pemuda. Aksi ini menjadi bentuk perlawanan terbuka buruh terhadap kebijakan pengupahan yang dinilai terus menjauh dari rasa keadilan dan kesejahteraan.

Dalam aksinya, buruh menuntut pemerintah Kota Semarang menghentikan praktik pengupahan murah dengan menetapkan UMK sesuai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) berdasarkan data resmi Kementerian Ketenagakerjaan sebesar Rp4.635.389,86. Selain itu, buruh juga mendesak agar Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) tidak dijadikan formalitas semata, melainkan diperluas ke seluruh sektor dengan kenaikan minimal 6 persen di atas UMK.

Dari pernyataan Wali Kota Semarang yang sebelumnya disampaikan melalui media sosial, bahwa kenaikan UMK secara tersirat akan menggunakan angka alfa tertinggi yakni 0,9, dan diperkirakan berada di kisaran Rp3,7 juta. Menurut Sumartono selaku Korlap Aksi, angka tersebut sebenarnya masih jauh dari nilai KHL dari Kementrian Ketenagakerjaan, akan tetapi dalam Rapat Pleno Dewan Pengupahan Kota pada Jum’at (19/12/2025) dari unsur pemerintah kota, dalam hal ini Kadisnaker dan akademisi malah mengusulkan alfa hanya 0,7. Seolah Pemerintah tidak berani mengambil sikap tegas, dan justru memilih menjadi penengah antara kepentingan pengusaha (APINDO) dan buruh.

Para buruh pun memendam kekecewaan terhadap sikap pemerintah dalam forum Dewan Pengupahan yang dinilai gagal menjalankan mandat konstitusi untuk melindungi hak buruh atas penghidupan yang layak.

“Pemerintah tidak boleh cuci tangan. Jangan berlindung di balik istilah kompromi, tapi justru mengorbankan buruh,” tegas Sumartono, yang juga merupakan Ketua Konsulat Cabang (KC) Semarang Raya, dalam orasinya.

“Ini adalah tidak lebih dari legitimasi upah murah dan sama sekali tidak menjawab kebutuhan riil buruh di Kota Semarang yang merupakan ibu kota provinsi. Semarang ini ibu kota provinsi, tapi upah buruhnya justru terancam jadi salah satu yang terendah. Ini ironi dan bentuk kegagalan kebijakan, plus dalam rekomendasi dari Dewan Pengupahan Kota unsur Pemerintah, menghilangkan sektor yang sudah ada di tahun 2025, ini maksudnya apa?” tambahnya.

Seiring berjalannya waktu, jumlah massa aksi terus bertambah, terutama saat jam pulang kerja. Buruh dari berbagai perusahaan yang ada di Semarang berdatangan untuk memperkuat barisan. Massa bahkan menyatakan siap bertahan dan menginap di depan Balai Kota Semarang, hingga pemerintah benar-benar memenuhi tuntutan buruh. (wahid/sup)