Semangat Garut 1999: FSPMI dan Jejak Orang Miskin Boleh Sakit

Semangat Garut 1999: FSPMI dan Jejak Orang Miskin Boleh Sakit

Purwakarta, KPonline-Garut bukan sekadar nama kota bagi Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), melainkan sebuah titik mula sejarah. Di tengah gelombang Reformasi yang baru saja membuka keran demokrasi, sebuah konsolidasi penting terjadi di Hotel Tirta Gangga, Garut, Jawa Barat. Tepat pada tanggal 6 Februari 1999, FSPMI didirikan sebagai antitesis dari serikat pekerja masa Orde Baru yang cenderung birokratis dan tidak independen.

Momen bersejarah ini kembali ditegaskan oleh Wahyu Hidayat, Ketua Pimpinan Cabang (PC) Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK) FSPMI Purwakarta.

Dalam pernyataannya, ia mengingatkan kembali akar perjuangan organisasi tersebut bahwa Garut adalah tempat kelahiran FSPMI yaitu tanggal 6 Februari 1999. “Alhamdulillah FSPMI selalu tampil sebagai pionir pergerakan buruh sebagai kekuatan penyeimbang yang terus memperjuangkan kesejahteraan kelas pekerja. Perjuangan BPJS Kesehatan sebagai salah satu buahnya dan dirasakan langsung oleh rakyat banyak. Sekalipun belum sempurna, orang miskin boleh sakit,” ujarnya.

#Pionir Pergerakan dan Kekuatan Penyeimbang

Pernyataan Wahyu Hidayat mengenai posisi FSPMI sebagai “pionir” memiliki landasan historis yang kuat. Lahirnya FSPMI merupakan implementasi nyata dari ratifikasi Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat yang disahkan pemerintah Indonesia di era Presiden B.J. Habibie. FSPMI muncul sebagai salah satu serikat pekerja independen pertama yang melepaskan diri dari hegemoni serikat tunggal yang mendominasi selama puluhan tahun.

Sejak kelahirannya, organisasi ini dikenal dengan strategi Lobi dan Aksi-nya yang efektif. Tidak hanya berteriak di jalanan, namun juga mengajukan konsep yang matang (konsep, lobi, aksi dan Politik).Inilah yang dimaksud sebagai “kekuatan penyeimbang” (balancing power) terhadap kebijakan pemerintah dan pengusaha yang seringkali tidak memihak kaum pekerja.

#Orang Miskin Boleh Sakit: Buah Perjuangan KAJS

Poin paling krusial dari pernyataan Wahyu adalah tentang BPJS Kesehatan. Kalimat “Orang miskin boleh sakit” adalah satir sekaligus kemenangan bagi rakyat kecil. Sebelum adanya BPJS, biaya kesehatan adalah momok menakutkan yang sering memiskinkan rakyat (katastropik).
Fakta sejarah mencatat bahwa FSPMI adalah motor penggerak utama dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) sepanjang tahun 2010 hingga 2011. Ribuan buruh FSPMI melakukan long march dan aksi bergelombang mendesak disahkannya UU BPJS.

Perjuangan ini berpuncak pada lahirnya UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Data menunjukkan bahwa sebelum adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), akses kesehatan sangat terfragmentasi (Askes untuk PNS, Jamsostek untuk swasta terbatas, dan Jamkesmas untuk orang miskin dengan kuota terbatas).

Kini, meskipun pelaksanaannya masih menghadapi tantangan—seperti antrean, sistem rujukan berjenjang, atau masalah kepesertaan—prinsip gotong royong dalam BPJS telah menyelamatkan jutaan nyawa rakyat yang sebelumnya tidak berani berobat ke rumah sakit karena ketiadaan biaya.

#Refleksi Masa Depan

Semangat Garut 1999 yang disuarakan Wahyu Hidayat adalah pengingat bahwa kesejahteraan tidak datang dari “kebaikan hati” penguasa, melainkan melalui tekanan dan perjuangan yang terorganisir.

BPJS Kesehatan adalah bukti konkret sumbangsih gerakan buruh untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk buruh pabrik. Kendati sistem ini, seperti kata Wahyu, “belum sempurna,” keberadaannya adalah fondasi penting perlindungan sosial di Indonesia yang harus terus dikawal dan diperbaiki.