Sekretaris DPW FSPMI Jawa Tengah: “Perjuangan Upah Harus Dimulai Sekarang, Jangan Menunggu Regulasi Disahkan”

Sekretaris DPW FSPMI Jawa Tengah: “Perjuangan Upah Harus Dimulai Sekarang, Jangan Menunggu Regulasi Disahkan”

Semarang, KPonline – Dalam Rapat Konsolidasi jelang Aksi Nasional 24 November 2025,  yang bertempat di Kantor Sekretariat FSPMI Jawa Tengah, Jum’at (21/11/2025), Sekretaris DPW FSPMI Jawa Tengah, Luqmanul Hakim, menyampaikan pemaparan komprehensif terkait situasi pengupahan di Jawa Tengah, dinamika pembahasan UMK/UMSK, hingga pentingnya eskalasi gerakan buruh sebelum pemerintah menetapkan regulasi baru melalui RPP Pengupahan.

Luqman menegaskan bahwa perjuangan upah di Jawa Tengah memasuki fase yang sangat krusial. Salah satu yang menjadi sorotan adalah proses penetapan  Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK).

Dalam pemaparannya tersebut, Luqman menjelaskan bahwa dari info yang diterima dari Dewan Pengupahan Provinsi dari unsur serikat pekerja telah berusaha untuk memetakan perusahaan mana saja yang dapat masuk dalam skema UMSK. Namun keputusan final sepenuhnya bergantung pada rekomendasi kabupaten/kota masing-masing.

“Apa yang sudah diletakkan di tingkatan provinsi tidak akan berarti kalau kawan-kawan kabupaten/kota tidak mengusulkan. Bupati atau Wali Kota yang tidak merekomendasikan UMSK, maka Gubernur pun tidak akan pernah menandatangani,” tegasnya.

Ia mengingatkan bahwa struktur FSPMI di daerah harus segera bergerak mengawal proses ini. Masih ada waktu, namun setiap hari sangat menentukan.

Luqman kemudian mengurai persoalan mendasar: disparitas upah dan rendahnya UMP Jawa Tengah. Menurutnya, jika mengacu pada perhitungan KHL berdasarkan 64 item, seharusnya UMP 2025 berada di angka 2,8 juta. Namun kenyataannya UMP Jawa Tengah hanya Rp 2,1 juta. Dari 35 kabupaten/kota, hanya Kota Semarang yang telah mencapai KHL 100%, karena itu tuntutan sudah jelas yaitu menuntut untuk 100 persen KHL untuk Jawa Tengah, ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Itulah yang sejalan dengan Putusan MK 168.

Sekretaris DPW juga menyinggung RPP Pengupahan yang sedang digodok pemerintah. Menurutnya, RPP tersebut menggunakan formulasi indeks yang menguntungkan daerah bergaji tinggi dan semakin memarginalkan daerah dengan upah minimum rendah seperti Jawa Tengah.

“RPP menggunakan indeks yang menafsirkan putusan MK secara sempit. Daerah yang upahnya sudah di atas KHL akan diuntungkan, sementara kita yang masih tertinggal justru semakin jauh,” kata Luqman.

Keputusan pemerintah menunda penetapan UMP/UMSP dari jadwal 21 November menunjukkan bahwa pemerintah masih mencari bentuk regulasi baru, sesuatu yang harus diantisipasi dengan gerakan buruh yang lebih kuat.

Luqman memperingatkan bahwa jika buruh bersikap pasif dan hanya menunggu hingga regulasi ditetapkan, maka ruang perjuangan akan semakin kecil.

“Kalau menunggu RPP disahkan, itu akan sangat sulit dicabut. Kita sudah mengalami bagaimana PP 78 baru bisa dicabut setelah bertahun-tahun. Begitu juga Omnibus Law. Jangan ulangi kesalahan yang sama,” tekannya.

Dalam rapat tersebut, ia juga membuka ruang bagi PUK maupun Konsulat Cabang di masing-masing kabupaten/kota untuk menentukan lokasi aksi selama tetap mengikuti instruksi nasional.

“35 kabupaten/kota bisa aksi di daerah masing-masing. Tidak harus ke Semarang. Yang penting isu nasional tetap disuarakan. Tapi kalau daerah tidak memungkinkan, maka aksi dipusatkan di tingkat provinsi, di depan Kantor Gubernur  yang merupakan simbol kekuasaan dan perlawanan,” jelasnya.

Menutup pandangannya, Luqman menegaskan bahwa perjuangan upah 2026 adalah momentum yang tidak boleh dilewatkan.

“Kalau kita melewatkan perjuangan upah tahun ini, beban ke depan akan jauh lebih berat. Kita tidak tahu apakah regulasi baru nanti lebih baik atau lebih buruk. Karena itu jawabannya ada pada kita. Kita harus bergerak sebelum semuanya terlambat,” tutupnya. (sup)