Jakarta, KPonline-Sekretaris Jenderal KSPI, Ramidi, membuka kegiatan Social Media Capacity Building dan In-House Training. kegiatan tersebut berlangsung di Hotel Amaris Juanda. Jl. Ir. H. Juanda No.3, Kebon Kelapa, Gambir, Jakarta Pusat pada 6 Desember 2025 dan terselenggara melalui kerja sama strategis antara KSPI, KSBSI, DTDA, ITUC, serta dukungan konsultan media Nakama.
Dalam sambutannya, ia berpesan,
“Media bukan lagi pelengkap organisasi. Media adalah medan tempur”.
Ramidi menegaskan bahwa persoalan media bukan sekadar urusan admin komunitas atau staf komunikasi. Di banyak organisasi dunia, media ditempatkan sebagai pilar inti. Penentu arah, pembentuk opini, bahkan penentu kemenangan narasi.
“Hari ini kita memposisikan diri menggunakan alat media untuk menyebarkan isu, untuk kampanye, untuk alat perjuangan. Dan itu efektif,” tegasnya.
Ia mengakui bahwa gerakan buruh selama ini kuat di jalanan melalui demonstrasi, aksi massa, presensi lapangan. Tetapi di dunia baru yang bergerak lebih cepat dari langkah barisan buruh, media sosial menjadi senjata yang bisa menembus ruang, waktu, dan batas fisik.
Dan yang paling penting, kata Ramidi,
“Perjuangan melalui media sosial tidak memerlukan biaya tinggi. Teman-teman adalah relawan, yang jam 10, jam 12 malam, bahkan jam 1, masih bekerja”.
“Di sinilah letak kekuatan gerakan buruh: solidaritas tanpa pamrih, kesukarelaan tanpa batas waktu,” pungkasnya.
Ramidi tidak menutupi kenyataan pahit yang harus diakui bersama. Dengan jutaan anggota di KSPI dan KSBSI, angka pengikut media sosial yang masih “di angka ribuan” adalah ironi besar.
“Harusnya dari jutaan anggota, yang follow, yang aktif, yang merespon, itu minimal ratusan ribu. Tapi kenyataannya belum,” katanya.
Ini bukan sekadar angka. Ini adalah indikator bahwa narasi perjuangan buruh belum dikelola secara maksimal, belum dikawal oleh seluruh struktur, dan belum dianggap prioritas oleh sebagian pimpinan.
“Media sosial ini harus didukung para pengambil kebijakan. Presiden, ketum, sekum, di konfederasi maupun federasi. Kalau tidak, kekuatannya tidak akan penuh”.
Ramidi mengingatkan bahwa hambatan terbesar gerakan media bukanlah kurangnya konten, tetapi kurangnya pengelolaan.
Banyak postingan “lahir lalu dibiarkan tanpa perawatan” tanpa dukungan share dari struktur, tanpa amplifikasi dari pimpinan, tanpa koordinasi kampanye.
“Setelah dibuat, ya sudah. Tidak ada woro-woro. Tidak ada pengawalan. Tidak ada sistem. Ini yang harus dievaluasi,” pungkasnya.
Ia menekankan bahwa membuat meme, poster, atau video hanyalah separuh dari pertempuran. Separuh lainnya adalah memastikan seluruh rumah besar organisasi ikut menggaungkan.
Program ini bukan program biasa. Ada mandat khusus dari ITUC dan dukungan serius dari DTDA karena mereka melihat satu hal bahwasanya Gerakan buruh Indonesia harus kuat di medan digital.
Menurut Ramidi, konsultan media Nakama akan memainkan peran penting dalam merancang ide, strategi, dan analisis kampanye.
Meski hari ini Nakama belum hadir, ia menegaskan bahwa tanggal 15–17 nanti akan menjadi momen krusial: peserta harus membuat kampanye digital yang benar-benar siap “diledakkan”.
Ramidi menutup dengan pesan yang mengguncang kesadaran:
“Mari kita posisikan media sosial sebagai alat perjuangan. Sebagai mesin baru. Mesin yang jika dikelola benar, bisa mengguncang siapa pun yang mencoba menginjak hak-hak buruh.”
Ia meminta seluruh peserta tidak hanya belajar teknis, tetapi juga menyiapkan strategi kampanye yang matang. Mulai dari ide, eksekusi, hingga sistem amplifikasi.
Karena perjuangan hari ini tidak hanya berlangsung di jalanan, tetapi juga di kolom komentar, di trending topic, di unggahan viral yang mampu mengubah opini publik.