Jakarta, KPonline – Memasuki penghujung tahun 2025, proyeksi kenaikan upah minimum tahun 2026 mulai menjadi bahasan dikalangan buruh dan pelaku usaha. Perlu diketahui, serikat pekerja Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menuntut kenaikan upah sebesar 8,5-10,5%. Dan jika benar terjadi kenaikan sebesar 10,5 persen, maka upah di Jakarta, Bekasi, dan Purwakarta akan mengalami penyesuaian signifikan, menyentuh angka yang disebut-sebut lebih mendekati kebutuhan hidup layak.
Berdasarkan catatan, upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta pada 2025 berada di kisaran Rp5.396.000. Dengan kenaikan 10,5 persen, maka upah minimum di ibu kota pada 2026 diperkirakan akan mencapai Rp5.962.795.
Sementara itu, untuk wilayah Kabupaten Bekasi yang dikenal sebagai salah satu daerah dengan upah tertinggi di Indonesia pada 2025 upah minimum kota/kabupaten (UMK) berada di kisaran sebesar Rp5.558.515. Dengan asumsi kenaikan sama, maka UMK Kabupaten Bekasi 2026 bisa menembus Rp6.142.159.
Kemudian, untuk upah minimum kota/kabupaten (UMK) Kota Bekasi di tahun 2025 yang sebesar 5.690.752. Bila mengalami kenaikan 10,5%, maka UMK Kota Bekasi 2026 berada di kisaran Rp6.288.280.
Sedangkan di Purwakarta, upah minimum tahun 2025 tercatat Rp4.792.252. Jika ditambah kenaikan 10,5 persen, maka UMK 2026 diproyeksikan menjadi sekitar Rp5.295.438.
Bagi kalangan buruh, proyeksi kenaikan ini tetap dipandang realistis. Pasalnya, biaya hidup di kawasan industri Jakarta, Bekasi, hingga Purwakarta terus merangkak naik. Harga kebutuhan pokok, sewa kontrakan, ongkos transportasi, hingga biaya pendidikan menjadi faktor utama yang memengaruhi perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL).
Meski demikian, wacana kenaikan 10,5 persen terus menguat setelah serikat buruh melakukan serangkaian aksi dan menyodorkan simulasi kebutuhan hidup layak yang dianggap telah sesuai dengan putusan MK no 168.
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa penetapan upah minimum harus mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL), bukan sekadar hitung-hitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Keputusan ini dianggap sebagai titik balik penting dalam perjuangan buruh yang selama bertahun-tahun menolak formula pengupahan berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sebab, menurut serikat pekerja, mekanisme lama membuat kenaikan upah minimum tidak cukup menutup kebutuhan dasar pekerja, apalagi dalam situasi harga barang pokok yang terus merangkak naik.
Selain itu, dalam putusannya, MK pun menegaskan bahwa negara tidak boleh mengabaikan prinsip kesejahteraan pekerja. Upah minimum harus menjamin pekerja dan keluarganya dapat memenuhi kebutuhan dasar, mulai dari pangan, sandang, papan, pendidikan, hingga kesehatan.