Medan,KPonline, – Bencana banjir bandang Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat yang mengakibatkan korban meninggal dunia 780 orang,korban hilang 564 orang,
orban terluka 2.600 orang, dan puluhan ribu orang harus mengungsi karena kehilangan tempat tinggal belum berakhir.
Penyebab utama terjadinya banjir bandang, bukan karena takdir, sebab alam semesta secara inheren netral dan tidak memiliki emosi atau agenda untuk membunuh manusia.
Penyebab terjadinya banjir bandang Aceh,Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 karena kebijakan yang salah yang dilahirkan dimeja kekuasaan oleh para pejabat bajingan yang rakus dan tidak berprikemanusiaan.
“Satu butir peluru hanya dapat menghilangkan satu nyawa, tetapi satu keputusan yang salah akan melahirkan bencana dan menghilangkan ribuan nyawa”Kalimat ini bukan sekadar peringatan, tetapi sebuah fakta betapa dahsyatnya kekuatan sebuah kebijakan.
Peluru bekerja dalam sekejap, meledakkan dan dalam hitungan detik kehidupan seseorang berakhir, berbeda dengan sebuah kebijakan yang lahir dari meja kekuasaan, ia bekerja secara perlahan namun masif, merambat ke setiap sudut kehidupan rakyat, menyentuh yang paling lemah, dan menentukan masa depan sebuah bangsa.
Ketika kebijakan dibuat tanpa kajian yang matang, tanpa mendengar suara rakyat, atau bahkan hanya demi kepentingan sekelompok kecil, maka ia berubah menjadi ancaman yang jauh lebih mematikan dibandingkan senjata apa pun. Kesalahan dari sebuah kebijakan bisa menjerumuskan jutaan rakyat ke jurang kemiskinan, memicu konflik sosial, melumpuhkan perekonomian, merusak lingkungan, hingga merenggut nyawa yang jumlahnya tak terbayangkan.
Sejarah telah mencatat banyak tragedi yang berawal dari meja rapat, bukan dari medan perang. Di balik sebuah kebijakan yang keliru sering tersembunyi kesombongan, ketidakpedulian, atau ambisi yang tak terkendali. Dan rakyatlah yang akhirnya menjadi korban paling besar.
Harusnya setiap orang yang memegang dan duduk dikekuasaan, memahami bahwa pena mereka lebih tajam dari sebutir peluru, dan tanda tangan mereka lebih berbahaya dari sebuah bom, semua kebijakan wajib lahir dari nurani, akal sehat, data yang akurat, serta empati kepada rakyat yang akan menanggung akibatnya.
Tetapi sangat disayangkan, hampir semua pejabat di negeri ini sudah kehilangan akal sehat, tidak memiliki nurani, akal yang sehat dan yang lebih mengerikan tidak memiliki integritas, moral dan kompetensi, sebab mereka lahir bukan dari sebuah kompetisi yang sehat tetapi dari hasi kecurangan dengan cara membodohi rakyat dan membayar suara rakyat dengan uang recehan.
Pada akhirnya, sejarah tidak hanya mengingat siapa yang berkuasa, tetapi siapa yang bertanggung jawab atas luka dan kehilangan yang terjadi akibat sebuah kebijakan yang dilahirkan oleh para pejabat yang tidak memiliki integritas, moral dan kompetensi. (Anto Bangun)