Jakarta, KPonline – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal kembali menegaskan penolakan terhadap praktik outsourcing yang menurutnya merugikan pekerja. Penolakan sistem ini bukan tuntutan tunggal, ia merupakan salah satu dari enam isu utama yang diusung Partai Buruh dan koalisi serikat pekerja dalam berbagai aksi dan pernyataan publik sepanjang 2025.
Menurut Said Iqbal, outsourcing kerap membuat posisi pekerja menjadi tidak pasti. Dimana, upah lebih rendah, jaminan sosial dan perlindungan kerja kian rapuh, serta memudarkan tanggung jawab pemberi kerja utama. Karena itu, penghapusan sistem outsourcing menjadi tuntutan prioritas dalam rangka memperkuat jaminan kerja layak bagi buruh. Pernyataan ini selalu disampaikan Iqbal dalam sejumlah konsolidasi dan aksi yang melibatkan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Partai Buruh.
Salah satu dari enam isu utama yang diangkat oleh Partai Buruh ini sering dirangkum publik sebagai gerakan “HOSTUM” (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah) disamping tuntutan lain seperti; Penolakan upah murah (Kenaikan UMK 2026 sebesar 8,5–10 persen). Reformasi pajak perburuhan : naikkan PTKP 7,5 juta/bulan, hapus pajak pesangon, pajak THR, pajak JHT, dan hapus pajak perempuan menikah. Sahkan RUU ketenagakerjaan baru tanpa omnibuslaw. Sahkan RUU Perampasan aset : Berantas Korupsi. Dan Revisi RUU pemilu : Redesign sistem pemilu tahun 2029.
Dan isu-isu ini telah dibawa ke berbagai momen aksi massa, termasuk peringatan Hari Buruh dan unjuk rasa di depan Gedung DPR beberapa waktu lalu.
Aksi massa bertajuk tuntutan enam isu tersebut pun berlangsung terorganisir dilakukan oleh koalisi serikat pekerja dan Partai Buruh (KSP-PB).
Lebih jelasnya mereka menggelar tuntutannya itu di beberapa titik, menagih janji politik serta dorongan legislasi agar dengan segera praktik outsourcing dapat dibatasi atau dihapus. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Iqbal menyatakan bahwa gerakan ini juga bertujuan memberi tekanan konstitusional kepada pembuat kebijakan agar memperbaiki aturan ketenagakerjaan yang dinilai membiarkan praktik upah murah dan ketidakpastian kerja menyebar.
Respons pemerintah dan aktor politik terhadap tuntutan ini pun beragam. Sebagian pihak menyatakan dukungan pada peningkatan perlindungan pekerja dan perbaikan mekanisme upah minimum, sementara pengusaha dan sebagian pengamat industri mengingatkan kebutuhan fleksibilitas tenaga kerja untuk daya saing.
Meski demikian, Said Iqbal menegaskan perbedaan antara fleksibilitas yang sehat dan praktik yang menggerus hak-hak dasar pekerja. Ia menuntut agar kebijakan diarahkan kepada kepastian kerja, upah layak, serta kepastian jaminan sosial bagi semua pekerja termasuk mereka yang selama ini berada di posisi tenaga kerja alih daya.
Penghapusan outsourcing sebagai isu sentral juga dipetakan ke ranah legislatif. KSP dan salah satunya FSPMI-KSPI bersama Partai Buruh meminta revisi dan penegasan aturan agar praktik alih daya tidak lagi dipakai untuk mengelak tanggung jawab perusahaan utama atas hak-hak tenaga kerja. Selain advokasi dan aksi, upaya politik melalui parlemen serta lobi publik menjadi alat yang ditempuh Partai Buruh untuk memasukkan tuntutan ini ke agenda prioritas kebijakan ketenagakerjaan.
Pun demikian, kekuatan tuntutan ini akan bergantung pada kemampuan koalisi buruh untuk mempertahankan mobilisasi massa sekaligus menjalin dukungan politik yang cukup untuk mendorong perubahan regulasi. Sementara itu, organisasi pengusaha mengingatkan agar perubahan aturan tidak mengorbankan investasi dan kesempatan kerja, sehingga dialog bipartit dinilai perlu agar solusi yang dihasilkan keberlanjutan ekonomi sekaligus perlindungan pekerja.
Said Iqbal dan Partai Buruh menyatakan akan terus menyuarakan enam isu tersebut secara simultan. Mulai dari menuntut penghapusan outsourcing hingga meminta kenaikan upah minimum yang memperhitungkan inflasi dan kebutuhan hidup layak.
Dengan agenda yang terang dan mobilisasi yang konsisten, upaya ini diproyeksikan tetap hadir sebagai tekanan politik utama dalam hal ketenagakerjaan ke depan.