Jakarta, KPonline – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menggulung berbagai sektor sepanjang tahun ini terus menjadi bayang-bayang bagi pekerja. Dari manufaktur hingga media, ratusan hingga puluhan ribu pekerja kehilangan mata pencaharian, sementara janji pembentukan Satuan Tugas Pencegahan PHK (Satgas PHK) oleh pemerintah belum sepenuhnya terasa di lapangan. Kondisi ini pun memunculkan pertanyaan kapan perlindungan yang nyata untuk pekerja akan tiba?
Data resmi yang dikumpulkan pemerintah dan dipantau media perdjoeangan menunjukkan lonjakan angka PHK yang mengkhawatirkan sejak awal tahun. Menurut catatan Kementerian Ketenagakerjaan yang dikutip sejumlah media ekonomi, korban PHK mencapai puluhan ribu orang hingga pertengahan tahun, dengan konsentrasi tinggi pada beberapa provinsi industri. Angka-angka ini menegaskan bahwa masalahnya bukan insiden tunggal, melainkan tren nasional yang memerlukan respons cepat.
Para pekerja dan serikat buruh menyebut janji pembentukan Satgas PHK sebagai harapan dari sebuah mekanisme yang diharapkan bisa melakukan pencegahan, mediasi, serta menjaga hak-hak pekerja yang terdampak. Namun, proses administratif dan kebijakan pengaturan Satgas masih menghadapi rentetan langkah teknis.
Beberapa pihak di Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pembentukan Satgas menunggu landasan hukum berupa Instruksi Presiden (Inpres), yang menjadi prasyarat operasionalisasi unit kerja lintas kementerian dan pemangku kepentingan. Hingga hari ini, menunggu keluarnya aturan itu dirasakan oleh banyak pihak sebagai penundaan yang mahal.
Klaim tentang kesiapan pembentukan Satgas beberapa kali muncul dalam pernyataan pejabat pemerintahan. Namun pemangku kepentingan lapangan, termasuk pimpinan serikat buruh dan korban PHK mengeluhkan lemahnya aksi nyata.
“Kami membutuhkan intervensi cepat: mediasi, pemetaan sektor yang rawan, serta program peralihan pekerjaan. Janji administrasi saja tidak cukup ketika orang sudah kehilangan penghasilan,” kata perwakilan serikat buruh yang sempat menemui pejabat, menurut laporan media yang memantau dialog antara serikat dan pemerintahan. Pernyataan-pernyataan pejabat yang menegaskan pembentukan satgas memang ada, tetapi implikasi praktis ke ranah pekerja masih terbatas.
Sementara itu, realitas di lapangan menunjukkan rentetan kasus PHK yang berdampak luas. Contoh terbaru yang ramai diperbincangkan publik yakni isu PHK massal di perusahaan-perusahaan besar yang viral di media sosial seperti di perusahaan Rokok Gudang Garam menambah daftar panjang perusahaan yang memberhentikan karyawan akibat tekanan bisnis ataupun restrukturisasi. Kasus-kasus ini mempertegas bahwa kerentanan pekerja tidak hanya terjadi pada perusahaan kecil, tetapi juga korporasi mapan. Dampaknya terasa tidak hanya pada ekonomi rumah tangga, tetapi juga pada keberlangsungan layanan di sektor publik dan swasta.
Kelompok pekerja media menjadi salah satu korban yang menonjol dalam gelombang pemutusan kerja ini. Laporan riset independen menunjukkan ribuan jurnalis dan pekerja media mengalami PHK dalam beberapa tahun terakhir dan itu tentunya menimbulkan kekhawatiran atas keberlanjutan fungsi pers yang sehat dan kebebasan informasi. Analisis juga menyorot praktik efisiensi yang kadang mengorbankan kesejahteraan dan perlindungan pekerja tanpa ada mekanisme kompensasi atau penempatan kerja yang memadai.
Disisi kebijakan, pemerintah telah mengumumkan sejumlah skema perlindungan sosial, seperti program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diperluas manfaatnya, serta wacana pembentukan Satgas PHK yang anggotanya akan melibatkan kementerian terkait, serikat pekerja, BPJS Ketenagakerjaan, dan pelaku industri. Namun efektivitas program-program ini bergantung pada kecepatan implementasi, koordinasi lintas lembaga, serta ketersediaan anggaran dan data pekerja yang akurat. Tanpa ini, bantuan berisiko terlambat atau tidak tepat sasaran.
Aktivis buruh dan sejumlah politisi mendesak agar Satgas PHK bukan sekadar simbolisme birokratis. Mereka meminta satgas harus memiliki mandat teknis yang jelas: pemantauan dini (early warning) pada perusahaan atau sektor yang menunjukkan tanda-tanda restrukturisasi, mediasi yang mengikat untuk alternatif selain PHK (misalnya cuti tanpa gaji terstruktur, redistribusi jam kerja, atau program magang internal), serta program penempatan kerja cepat bersama swasta dan pelatihan vokasi berkolaborasi dengan Disnaker provinsi. Tanpa tindakan-tindakan seperti ini, program akan sulit menahan laju PHK.
Apa yang perlu dilakukan sekarang?
1. Percepatan landasan hukum dan mekanisme operasional Satgas. Instruksi Presiden atau regulasi lain harus segera disempurnakan sehingga Satgas bisa bertindak dengan kewenangan lintas kementerian.
2. Data dan transparansi. Pemerintah perlu membuka data PHK yang terperinci per sektor dan provinsi sehingga intervensi lebih tepat sasaran. Data publik juga membantu lembaga swadaya, serikat, dan akademisi membuat rekomendasi kebijakan.
3. Peran aktif pemangku industri. Perusahaan besar yang mengalami tekanan diminta mengedepankan opsi mitigasi pekerja sebelum PHK massal dan berkoordinasi dengan Satgas.
4. Perluasan dan percepatan akses JKP dan pelatihan kerja. Bagi korban PHK, jalur perlindungan sosial dan program reskilling harus bisa diakses cepat, tanpa birokrasi yang menghambat. (BPJS Ketenagakerjaan)
Angka-angka korban PHK yang terus bertambah menyuarakan urgensi tindakan nyata. Satgas PHK memiliki potensi menjadi jawaban jika dirancang sebagai instrumen cepat, tanggap, dan solutif, dimana bukan sekadar label kebijakan.
Bagi pekerja yang kini menatap hari esok tanpa jaminan, waktu bukanlah sekadar kata, dimana ia menentukan seberapa cepat perlindungan itu hadir. Singkatnya, pemerintah, pengusaha, dan serikat harus bergerak seiring dan mempercepat langkah agar janji tidak lagi hanya berhenti pada pengumuman, melainkan dirasakan di meja makan setiap keluarga pekerja.