Saat Partai Buruh Menyusun Ulang Takdir Pekerja Indonesia

Saat Partai Buruh Menyusun Ulang Takdir Pekerja Indonesia
KSPI bersama KSP - Partai Buruh datangi Kantor Badan Legislasi DPR RI. Kamis (17/7/25). Fhoto : Dimas

Purwakarta, KPonline – Sekelompok orang dengan wajah penuh keyakinan memasuki sebuah ruangan di jantung ibu kota. Di meja panjang ruang rapat yang berpendingin udara itu, antara kursi-kursi kekuasaan, kata buruh kembali disebut dengan rasa hormat. Bukan sekadar istilah dalam buku undang-undang, melainkan denyut kehidupan yang melahirkan republik ini.

Hari itu, Partai Buruh bertemu dengan pimpinan DPR RI untuk membicarakan satu hal besar, yaitu sebuah Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, rancangan undang-undang yang diyakini akan menjadi nafas baru bagi jutaan pekerja di negeri ini.

Sekretaris Jenderal Partai Buruh, Ferri Nuzarli, berbicara dengan nada tegas namun tenang. Di depan para wartawan dan di hadapan para legislator, ia mengungkapkan bahwa rancangan yang mereka bawa bukan sekadar dokumen hukum. Itu adalah manifesto perjuangan dengan v250 halaman tebal, berisi mimpi tentang kerja yang manusiawi dan kehidupan yang layak.

“Dari hasil pertemuan itu ada tiga rekomendasi,” ucap Ferri di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (13/10/2025).
“Pertama, DPR setuju mendukung putusan MK 168, bahwa pembentukan undang-undang ini adalah undang-undang baru, bukan revisi, bukan tambal sulam”

Ferri melanjutkan, poin kedua dari hasil pertemuan itu adalah pembentukan tim perumus, sebuah wadah yang akan mempertemukan tiga dunia, yaitu pemerintah, DPR, dan serikat pekerja. Dari sinilah diharapkan lahir aturan yang bukan hanya sah di mata hukum, tapi juga adil di hati buruh.

“Yang ketiga,” tambahnya, “DPR tetap membuka partisipasi publik untuk memberikan pengayaan terhadap rancangan undang-undang baru ini.”

Sebuah pernyataan yang terdengar seperti pintu yang mulai dibuka, pintu menuju perbaikan.

Ferri memastikan bahwa draf yang mereka ajukan bukan semata-mata bicara pabrik, mesin, atau keringat di lantai produksi. Dunia kerja telah berubah, dan undang-undang pun harus mengikuti zaman.

“Draf ini mengakomodasi semua kepentingan buruh di Indonesia,” ujarnya. “Termasuk pekerja digital dan pelaku UMKM.”

Dalam naskah setebal 250 halaman itu, termuat konsep perlindungan bagi mereka yang bekerja di balik layar komputer, di jalanan sebagai kurir aplikasi, hingga di kios-kios kecil yang menopang ekonomi rakyat. Sebuah gagasan yang menjembatani masa lalu industri dan masa depan digital.

Ketika mikrofon berpindah tangan, Presiden Partai Buruh Said Iqbal berdiri. Kata-katanya meluncur dengan ritme khas seorang aktivis yang sudah kenyang dengan rapat jalanan dan ruangan parlemen. Ia menjelaskan bahwa draf RUU ini lahir dari Presidium Koalisi Serikat Pekerja Buruh–Partai Buruh (KSP-PB), wadah yang menampung suara berbagai serikat pekerja di tanah air.

“Ini baru dua bagian,” ujar Said, “baru prinsip-prinsip dan pokok pikiran dari KSP-PB. Belum masuk norma hukum. Tapi inilah fondasi dari rumah besar ketenagakerjaan yang akan kita bangun bersama.”

Said lalu berbicara tentang salah satu isi paling penting dari RUU tersebut: larangan outsourcing.

Dengan nada tegas, ia menolak praktik alih daya yang telah lama membuat hubungan kerja menjadi kabur antara manusia dan perusahaan.

“Hubungan kerja dalam undang-undang yang baru ini hanya ada dua,” katanya.
“Pekerja kontrak atau PKWT, dan pekerja tetap atau PKWTT. Itu saja. Dilarang ada pekerja alih daya. Dilarang pekerja outsourcing berkedok magang.”

Kalimat itu menggema seperti dentang palu keadilan di ruang pertemuan. Para jurnalis menulis cepat, sementara beberapa aktivis buruh yang hadir menundukkan kepala bukan karena kecewa, melainkan karena teringat panjangnya jalan perjuangan menuju momen ini.

Beberapa pekan sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad telah memberi sinyal kuat dari gedung parlemen. Dalam rapat bersama perwakilan serikat buruh dan jajaran menteri Kabinet Merah Putih, Dasco menyampaikan bahwa DPR sepakat untuk membentuk undang-undang baru, bukan sekadar revisi dari UU Cipta Kerja yang telah digugat ke Mahkamah Konstitusi.

“DPR akan membuat undang-undang baru tenaga kerja sesuai dengan putusan MK,” ujarnya di ruang rapat Komisi V DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9).
“Akan dibentuk tim perumus yang melibatkan serikat-serikat pekerja, konfederasi, DPR, dan pemerintah.”

Pernyataan itu bagai cahaya di ujung terowongan panjang. Setelah bertahun-tahun buruh merasa hanya menjadi objek kebijakan, kini mereka diajak duduk bersama di meja yang sama, setara dalam merumuskan masa depan.

RUU ini mungkin masih panjang perjalanannya melewati pembahasan, perdebatan, bahkan mungkin perlawanan. Namun, bagi mereka yang datang dari dunia kerja, perjuangan tak pernah berhenti di ruang rapat. Ia terus hidup di tiap langkah kaki yang berangkat kerja pagi-pagi, di tiap tangan yang menandatangani absensi, dan di tiap hati yang percaya bahwa kerja harus dimuliakan.

“Ini bukan sekadar rancangan undang-undang,” kata Said Iqbal sebelum meninggalkan ruangan. “Ini rancangan tentang masa depan kita. Tentang kerja yang manusiawi. Tentang Indonesia yang adil bagi semua yang bekerja.”

Dan di luar sana, langit sore Jakarta mulai terang kembali. Seolah memberi isyarat bahwa lembar baru perjuangan buruh Indonesia, pelan-pelan, mulai ditulis kembali.