Pemalang, KPonline-Hari Guru Nasional yang biasanya dipenuhi ucapan syukur, karangan bunga, dan pidato penuh basa-basi berubah menjadi panggung perlawanan di Kabupaten Pemalang. Selasa (25/11), ratusan guru honorer dari berbagai kecamatan memadati depan Pendopo Kabupaten. Bukan untuk merayakan, melainkan menggugat tetapi menagih kepastian status mereka di Dapodik dan menolak terus-menerus diperlakukan sebagai pengabdi tanpa masa depan.
Di tengah suasana peringatan Hari Guru yang seharusnya menjadi momentum penghargaan bagi para pendidik, para guru honorer justru membawa poster tuntutan, suara keprihatinan dan bukan seremonial pidato. Aksi damai yang berlangsung tertib ini menjadi pertanda bahwa ada luka panjang yang tidak pernah benar-benar ditangani oleh pemerintah daerah.
Koordinator aksi menegaskan bahwa turun ke jalan bukan pilihan ideal, tetapi pilihan terakhir setelah pintu dialog berkali-kali tak dibuka.
“Setiap kali audiensi, Dinas maupun Pemda selalu mangkir. Sementara di daerah lain akses Dapodik dibuka, di Pemalang justru ditutup sejak TMT 2019. Sampai kapan kami harus menunggu?” ujarnya.
Slamet, seorang guru honorer yang telah mengabdi hampir satu dekade berbicara:
“Kami mencintai profesi ini, tetapi kami juga ingin hidup layak. Tahun demi tahun kami mengajar, tetapi status kami di Dapodik tidak pernah dibuka. Hari Guru ini bukan perayaan bagi kami—ini panggilan darurat agar suara kami akhirnya didengar”.
Aksi yang digelar Forum Guru Honorer Non-Dapodik Pemalang membawa lima tuntutan yang ditulis tebal untuk dibaca publik dan pejabat:
1. Menuntut pembukaan SK Dinas dan akses Dapodik sejak TMT 2019.
2. Semua pendidik berhak mendapatkan SK Dinas agar dapat mengikuti seleksi PPPK.
3. Menolak status GTT menjadi PTT untuk guru honorer.
4. Menolak segala kebijakan yang berpotensi merumahkan guru honorer.
5.Guru honorer adalah Pendidik, bukan Korban Kebijakan. Berikan kepastian status dan kesejahteraan.
Pihak kepolisian dan Dinas Pendidikan terlihat mengawasi jalannya aksi. Tidak ada kericuhan. Tidak ada provokasi. Para guru menunjukkan bahwa aksi ini bukan ancaman, melainkan seruan paling jujur dari mereka yang selama ini memikul beratnya dunia pendidikan di lapangan.
Pada akhir aksi, para perwakilan guru diterima dan menghasilkan nota kesepahaman yang ditandatangani Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pemalang serta disaksikan Badan Kepegawaian Daerah. Sebuah dokumen awal yang diharapkan menjadi pijakan, bukan sekadar janji formalitas yang kembali menguap.
Hari Guru seharusnya menjadi panggung penghargaan. Namun di Pemalang, momen ini justru membongkar ironi terbesar dunia pendidikan. Dimana guru honorer diminta berjuang mencerdaskan bangsa, tetapi mereka sendiri terus dibiarkan dalam gelap tanpa kepastian status.
Pepatah menyebutkan, pendidikan tidak bisa maju bila para pendidiknya hidup dalam ketidakpastian. Bahwa penghormatan tidak cukup bila tidak diikuti kebijakan yang adil dan loyalitas guru honorer tidak boleh terus-menerus dibayar dengan janji kosong.
Para guru honorer Pemalang menegaskan, aksi damai ini adalah ikhtiar mulia untuk memperjuangkan martabat mereka sebagai pendidik. Mereka berharap pemerintah daerah tidak lagi berlindung di balik prosedur administratif, tetapi hadir memberikan solusi nyata, kepastian status, dan kesejahteraan yang wajar.
Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghormati gurunya, tetapi bangsa yang menyejahterakan mereka.