Reformasi Pajak: Jalan Menuju Kesejahteraan, Bukan Penindasan

Reformasi Pajak: Jalan Menuju Kesejahteraan, Bukan Penindasan
Said Iqbal. Foto: Media Perdoeangan

Jakarta, KPonline – Suatu siang di sebuah warung kopi di Pati, suara seorang lelaki paruh baya terdengar meninggi. Ia mengeluhkan tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang melonjak lebih dari dua kali lipat. “Rumah saya sempit, tapi pajak yang harus saya bayar seperti saya ini mempunyai pabrik,” katanya, diikuti gelak getir para tetangga.

Di Cirebon, cerita lebih muram lagi. PBB bisa naik seribu persen, membuat warga terengah-engah menambal hidup yang sudah pas-pasan. Cerita-cerita seperti itu kini bertebaran di banyak daerah. Pajak, yang sejatinya disebut sebagai “gotong royong” membiayai negara, justru berubah menjadi luka yang ditanggung rakyat kecil.

Di media sosial, muncul guyonan pahit. Jangan-jangan suatu saat Menteri Keuangan akan memajaki uang kondangan.

“Humor yang lahir dari kepedihan rakyat,” ujar Said Iqbal, Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI, dalam sebuah konferensi pers yang diselenggarakan secara daring, Rabu (20/8).

Ia tersenyum getir, sebelum menambahkan dengan nada serius. “Di tengah kondisi daya beli yang terus melemah, kebijakan menaikkan pajak justru melukai masyarakat. Konsumsi rumah tangga menurun, ekonomi melambat, sementara rakyat dipaksa menanggung beban tambahan. Ironisnya, orang kaya justru diampuni lewat tax amnesty.”

Seruan Reformasi Pajak

Bagi Iqbal, pajak terkait erat dengan keadilan. Negara tampak gagah menarik pajak dari buruh yang memiliki gaji tetap, tapi ragu menagih para pengusaha besar yang lihai menyembunyikan laba. “Di sinilah Partai Buruh bersama koalisi serikat pekerja, termasuk KSPI, menyerukan perlunya reformasi pajak perburuhan,” tegasnya.

Reformasi yang dimaksud bukan retorika abstrak. Ia menyangkut angka-angka yang langsung menentukan isi dompet buruh. Misalnya, soal Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Saat ini, PTKP ditetapkan Rp4,5 juta per bulan. Artinya, buruh dengan gaji di atas itu wajib dipotong pajak. Buruh menuntut angka itu dinaikkan ke Rp7,5 juta. Selisih Rp3 juta bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari: uang sekolah anak, ongkos transportasi, hingga belanja pasar.

Dalam hitungan sederhana, uang yang tak disedot pajak itu akan kembali berputar di pasar. Konsumsi rakyat naik, daya beli menguat, ekonomi bergerak. Pajak bukan hilang, tapi kembali dalam bentuk multiplier effect yang sehat.

Kebijakan yang sekarang berlaku justru terasa menekan. Contoh paling nyata adalah pajak atas Tunjangan Hari Raya (THR). Padahal, hampir semua pekerja tahu, THR bukan bonus mewah, melainkan dana yang langsung ludes untuk biaya mudik, cicilan, atau belanja kebutuhan Lebaran.

“Sayangnya, pemerintah masih memajakinya,” ujar Iqbal.

Begitu pula dengan pesangon. Uang yang semestinya menjadi jaring penyelamat bagi mereka yang di-PHK, malah dipotong pajak.

“Memajaki pesangon sama saja memperberat penderitaan mereka yang kehilangan pekerjaan,” katanya.

Partai Buruh menilai, menghapus pajak THR dan pesangon tak berarti mengurangi penerimaan negara. Uang itu akan tetap beredar, kembali ke pasar dalam bentuk konsumsi barang dan jasa. Dari sana, negara tetap mendapat pemasukan lewat PPN.

“Artinya, negara tidak benar-benar kehilangan penerimaan, hanya cara pungutnya yang lebih adil,” tegas Iqbal.

“Rakyat Kecil Taat Pajak, Konglomerat Diberi Karpet Merah….”

Reformasi pajak perburuhan yang digagas Partai Buruh tak terbatas pada buruh pabrik atau karyawan kantoran. Jurnalis lepas, pekerja media, pengemudi ojek daring, hingga pekerja informal yang selama ini tercecer juga masuk dalam lingkaran perjuangan.

Di jalan raya Jakarta, para pengemudi ojol kerap menghitung-hitung uang harian: bensin, sewa motor, cicilan ponsel. Sisa tipis itulah yang masih dipotong pajak. “Ketika daya beli rakyat terjaga, produksi meningkat, PHK bisa ditekan, bahkan ada peluang penyerapan tenaga kerja baru,” ujar Iqbal.

Namun, jalan menuju reformasi tak pernah mudah. Pemerintah kerap berkilah bahwa penerimaan pajak harus ditingkatkan demi menutup defisit anggaran. Di sisi lain, pilihan menaikkan tarif atau menambah objek pajak lebih sering diarahkan ke rakyat biasa, karena dianggap lebih mudah dan pasti.

Kritik terhadap tax amnesty menjadi salah satu poin sentral. Program yang dimaksudkan untuk menarik dana dari pengemplang pajak besar justru dianggap memberi pengampunan pada mereka yang selama ini menghindar.

“Rakyat kecil taat pajak, tapi konglomerat diberi karpet merah,” ujar Iqbal.

Platform Partai Buruh, salah satunya adalah “pajak harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat”. Ini artinya, pajak harus mengalir kembali dalam bentuk pelayanan publik yang nyata seperti pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan lapangan kerja.

Di balik gagasan itu, ada bayangan sejarah panjang. Pajak di negeri ini kerap jadi instrumen kuasa, bukan alat keadilan. Dari zaman kolonial dengan contingenten dan verplichte leverantie, hingga kini dengan nomenklatur modern. Bedanya hanya bentuk, bukan rasa. Rakyat kecil tetap jadi penopang utama, sementara yang besar kerap lolos.

Sebagai informasi, contingenten adalah pajak wajib berupa hasil bumi yang langsung dibayarkan kepada VOC. Cara kerjanya adalah rakyat diminta untuk menyerahkan sebagian dari hasil bumi wajibnya sebagai pajak. Pajak ini diberlakukan di daerah jajahan langsung VOC. Sementara itu, verplichte leverentie adalah penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditentukan VOC. Cara kerjanya adalah rakyat diminta untuk menjual sebagian hasil buminya dengan harga yang ditentukan oleh VOC. Penyerahan ini diberlakukan di wilayah yang tidak secara langsung dikuasai VOC. Keduanya dipungut oleh elit-elit pribumi yang bekerja pada VOC.

Kini, Partai Buruh mencoba menggeser paradigma itu. Pajak bukan untuk menindas, bukan semacam upeti, melainkan menyejahterakan. Pajak bukan beban, melainkan gotong royong yang adil.

“Dengan reformasi pajak perburuhan, keadilan fiskal bisa lebih terasa. Pajak tidak lagi sekadar alat negara menarik uang dari rakyat kecil, melainkan menjadi instrumen untuk menjaga daya beli, melindungi buruh, dan menggerakkan roda ekonomi nasional,” tutup Iqbal.

Aksi 28 Agustus 2025

Said Iqbal menyampaikan, puluhan ribu buruh dari berbagai wilayah di Indonesia akan menggelar aksi serentak pada Kamis, 28 Agustus 2025. Aksi nasional ini diprakarsai oleh Partai Buruh.

Menurut Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh Said Iqbal, di nasional, aksi akan dipusatkan di depan DPR RI atau Istana Kepresidenan Jakarta. Tidak kurang dari 10 ribu buruh dari Karawang, Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, dan DKI Jakarta akan bergerak menuju pusat ibu kota.

Sementara itu, aksi serupa juga akan digelar secara serentak di berbagai provinsi dan kota industri besar, antara lain: Serang – Banten, Bandung – Jawa Barat, Semarang – Jawa Tengah, Surabaya – Jawa Timur, Medan – Sumatera Utara, Banda Aceh – Aceh, Batam – Kepulauan Riau, Bandar Lampung – Lampung, Banjarmasin – Kalimantan Selatan, Pontianak – Kalimantan Barat, Samarinda – Kalimantan Timur, Makassar – Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan berbagai daerah lain.

Selain isu reformasi pajak, isu lain yang akan disuarakan dalam aksi 28 Agustus 2025 adalah Hapus Outsourching Tolak Upah Murah (HOSTUM), Bentuk Satgas PHK, Sahkan RUU Perampasan Aset dan Berantas Korupsi, Revisi RUU Pemilu untuk Redesign Sistem Pemilu 2029, serta Sahkan UU Ketenagakerjaan yang Baru.

Gelombang protes yang akan bergulir pada 28 Agustus 2025 menjadi penanda bahwa isu pajak dan 5 isu yang lainnya bukan lagi sekadar wacana di ruang seminar, melainkan jeritan nyata dari rakyat pekerja. Dari Pati hingga Cirebon, dari pabrik di Karawang hingga jalanan Makassar, keluhan tentang beban pajak yang mencekik berpadu dengan tuntutan buruh untuk hidup yang lebih layak.

Partai Buruh mengartikulasikan keresahan itu menjadi agenda politik dengan jalan menaikkan PTKP, menghapus pajak atas THR dan pesangon, serta menjadikan pajak sebagai instrumen kesejahteraan, bukan penindasan. Agenda itu bukan berhenti pada kata-kata, melainkan hendak diwujudkan dalam aksi nyata di jalan-jalan kota.

Puluhan ribu buruh akan meninggalkan pabrik, kantor, terminal, dan pelabuhan untuk berkumpul dalam satu suara. Mereka tidak hanya menuntut reformasi pajak, tapi juga penghapusan outsourcing, penolakan upah murah, pemberantasan korupsi, hingga pembaruan sistem pemilu. Semua itu berangkat dari satu keyakinan sederhana, bahwa keadilan tidak akan datang dari atas, melainkan diperjuangkan dari bawah, dari kelas pekerja.