Semarang, KPonline — Rapat pleno Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Tengah yang digelar di Kantor Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah pada hari Selasa (16/12/2025) dan dipimpin langsung oleh Ketua Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Tengah, Ahmad Aziz, ternyata belum juga membahas penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Hal tersebut diungkapkan oleh perwakilan unsur serikat pekerja, Karmanto dari Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP), usai mengikuti rapat pleno.
Karmanto menjelaskan bahwa belum adanya pembahasan UMP disebabkan ketidakpastian terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) terkait pengupahan. Bahkan dari Ketua Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Tengah, Ahmad Aziz, menyampaikan bahwa hingga kini belum dapat dipastikan kapan PP tersebut akan ditetapkan. Meski Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan PP akan terbit pada Desember, namun menurut Karmanto, Desember masih memiliki rentang waktu hingga akhir bulan.
“Lebih dari itu, kami dari unsur pekerja tetap mendorong agar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168 dijadikan rujukan. Kondisi buruh di Jawa Tengah saat ini belum mencapai 100 persen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), bahkan saat ini baru sekitar 70 persen,” tegas Karmanto.
Ia juga mengungkapkan data Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang menunjukkan bahwa pemenuhan KHL secara nasional baru mencapai sekitar 62 persen. Sementara data dari kementerian menyebutkan angka 70 persen. Fakta tersebut, menurutnya, menunjukkan bahwa upah buruh masih belum layak.
Dalam rapat tersebut juga, dari unsur serikat buruh juga mendorong agar Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) ditetapkan. Menurut Karmanto, penetapan UMSP akan menjadi pedoman bagi seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah, tidak terbatas hanya Kota Semarang dan Kabupaten Jepara. Dengan adanya guidance dari Dewan Pengupahan Provinsi, kabupaten/kota dapat menetapkan upah sektoral yang setidaknya sama atau lebih baik dari ketentuan provinsi.
Terkait kriteria sektoral, Karmanto menyoroti perdebatan mengenai orientasi ekspor perusahaan. Ia menegaskan bahwa kesepakatan sebelumnya hanya menilai orientasi ekspor, bukan fluktuasi ekspor atau kondisi untung-rugi perusahaan. “Kalau sampai dinilai naik-turunnya ekspor tiga sampai lima tahun ke belakang, itu berbahaya dan bisa menjadi bentuk pengebirian upah sektoral,” ujarnya.
Sementara itu, perwakilan serikat buruh lainnya, Pratomo Hadinata dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), menekankan pentingnya mengembalikan pembahasan pada aturan (rule) yang telah disepakati. Ia menyebut sempat terjadi pergeseran kriteria, seperti risiko kerja yang awalnya disepakati kategori menengah dan tinggi, namun dalam pembahasan terakhir hanya tersisa kategori tinggi.
“Alhamdulillah tadi bisa kita luruskan kembali ke rule. Ada juga pengakuan kekurangan data, dan itu akan diperbaiki dalam waktu dekat,” jelas Pratomo.
Pratomo menambahkan, pembahasan terkait ekspor dan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masih akan dilanjutkan. Rencananya, pembahasan PDRB akan dilakukan pada Jumat mendatang agar dewan pengupahan memiliki gambaran utuh dalam menentukan kebijakan upah sektoral.
Ia juga menyoroti wacana pencapaian KHL 100 persen dalam jangka waktu empat tahun sebagaimana pandangan akademisi. Berdasarkan data terbaru DEN dengan rasio 0,62, jika menggunakan indeks alfa 0,7, maka pencapaian KHL 100 persen baru akan terwujud sekitar tahun 2055.
“Karena itu kami menegaskan bahwa target KHL 100 persen harus menjadi komitmen bersama,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Pratomo menyampaikan bahwa apabila PP pengupahan ditetapkan dalam waktu dekat, maka rapat pleno lanjutan akan segera digelar mengingat waktu yang semakin mendesak. Harapannya, kebijakan pengupahan di Jawa Tengah ke depan mampu mendekatkan upah buruh pada KHL dan memperluas penerapan upah minimum sektoral di seluruh kabupaten/kota. (sup)