Rapat Konsolidasi Jelang Aksi Nasional 24 November, FSPMI Jawa Tengah Matangkan Kesiapan Perjuangan Upah

Rapat Konsolidasi Jelang Aksi Nasional 24 November, FSPMI Jawa Tengah Matangkan Kesiapan Perjuangan Upah
Ketua DPW FSPMI KSPI Jawa Tengah dalam sambutan Rapat Konsolidasi, Jum;at (21/11/2025) jelang aksi nasional tanggal 24 November 2025 (Foto: Dokumentasi MP Jateng)

Semarang, KPonline – Menjelang pelaksanaan Aksi Buruh Nasional pada 24 November 2025, Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW FSPMI) Jawa Tengah menggelar Rapat Konsolidasi di Kantor Sekretariat FSPMI Jawa Tengah, Jumat (21/11/2025). Konsolidasi ini menjadi ruang penting untuk memastikan seluruh perangkat organisasi, khususnya PUK-PUK SPA FSPMI di berbagai daerah, berada dalam satu barisan perjuangan.

Rapat tersebut diisi pemaparan kondisi perjuangan upah terkini dan langkah strategis menjelang aksi nasional.  Disampaikan langsung oleh Ketua DPW FSPMI KSPI Jawa Tengah, Aulia Hakim, dirinya memberikan arahan sekaligus menyampaikan berbagai perkembangan penting yang menjadi alasan utama mengapa buruh harus turun aksi secara serentak pada 24 November nanti.

Dalam sambutannya, Aulia Hakim menegaskan kembali bahwa perjuangan upah bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan bagian dari ideologi organisasi.

“Upah itu adalah salah satu ideologi FSPMI. FSPMI punya ideologi, punya nyawa, punya keyakinan bahwa kesejahteraan buruh faktor fundamentalnya adalah upah,” ujarnya membuka penjelasan.

Menurutnya, jaminan sosial dan kesejahteraan lain memang penting, namun inti dari perjuangan buruh tetap bermuara pada kebijakan upah yang adil dan bermakna.

Dirinya juga menjelaskan bahwa instruksi aksi 24 November muncul dalam situasi yang sangat mendesak, yang justru dipicu oleh pemerintah sendiri. Hal ini terjadi karena adanya kekosongan regulasi pasca Putusan MK No.168, yang seharusnya dalam dua tahun disusun aturan baru, namun hingga kini belum terjawab.

“Saat ini terjadi kekosongan regulasi upah pasca putusan MK No.168. Dalam rentang dua tahun harus dibuat aturan, dan ini masih kosong,” tegasnya.

Karena kekosongan itu, pemerintah kemudian mengambil langkah diskresi pada 2025 dengan menetapkan kenaikan upah 6,5%. Namun untuk tahun 2026, pemerintah kembali mendorong pengaturan melalui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang disinyalir justru makin mempersulit buruh.

Dalam penjelasannya, Ketua DPW menambahkan bahwa RPP yang sedang disiapkan pemerintah sangat terasa dipolitisasi dan lebih melindungi pengusaha ketimbang memperhatikan nasib buruh.

Salah satu yang paling disorot adalah penggunaan indeks 0,2–0,7 dalam formula penghitungan upah minimum. Angka tersebut dinilai sangat berpotensi memperlebar jurang ketimpangan upah antarwilayah.

“Kalau kita pakai 0,7 dan yang lain pakai 0,2, kita butuh 10 tahun untuk mengejar Serang, 15 tahun mengejar Surabaya, dan 18 tahun baru mengejar DKI. Ini menunjukkan bagaimana RPP ini justru membuat disparitas makin besar,” jelasnya.

Karena itu, pimpinan pusat FSPMI menegaskan pentingnya perjuangan nasional. Hanya gerakan bersama yang dapat menekan pemerintah agar tidak melahirkan aturan yang merugikan buruh.

Menutup arahannya, Ketua DPW Jawa Tengah menyerukan kepada seluruh perangkat FSPMI di Jawa Tengah untuk bersiap sekuat tenaga menghadapi aksi nasional.

“Saya berharap kalau besok tanggal 24 kita turun aksi, ya full power. Jangan takut-takut. Kali ini kita bicara masalah upah,” tegasnya. (sup)