Purwakarta, KPonline-Wacana kenaikan upah minimum 2026 terus memanas. Bahkan sebelum pemerintah resmi menetapkan angkanya. Di tengah spekulasi bahwa kenaikan bisa berada di rentang 8,5–10,5 persen, suara pro dan kontra langsung bersahutan. Yang paling keras? Seperti biasa, sebagian pengusaha yang buru-buru menyebut usulan tersebut sebagai terlalu tinggi dan mengancam kelangsungan usaha.
Namun apakah klaim itu tepat? Atau justru narasi lama yang setiap tahun diputar ulang tanpa pembuktian kuat?
Beberapa asosiasi pengusaha menyuarakan kekhawatiran bahwa kenaikan upah hingga dua digit akan menekan biaya operasional. Mereka mengklaim industri masih dalam fase pemulihan, pasar global melemah, dan beban usaha meningkat karena kenaikan biaya energi, logistik, hingga bahan baku.
Argumen klasik seperti bisa menimbulkan PHK, investor kabur, hingga daya saing turun kembali menjadi headline. Seakan-akan buruh lah penyebab semua masalah struktural yang tidak pernah benar-benar dibereskan.
Jika dibandingkan negara tetangga, posisi upah buruh Indonesia bukan hanya rendah. Tetapi, tertinggal jauh.
Beberapa kajian ekonomi menunjukkan bahwa:
•Rata-rata upah minimum Indonesia berada jauh di bawah Thailand, Malaysia, bahkan Vietnam untuk beberapa sektor industri padat karya.
•Produktivitas buruh Indonesia meningkat dalam lima tahun terakhir, tetapi pertumbuhan upah justru stagnan.
•Beban upah dalam struktur biaya produksi pabrik tekstil, garmen, makanan-minuman, dan manufaktur pada umumnya berada di kisaran 8–15 persen, jauh dari dominan.
Artinya, kenaikan 8–10 persen tidak serta merta membuat industri runtuh, karena porsi terbesar biaya bukan pada upah, melainkan pada efisiensi energi, bahan baku impor, ongkos logistik, dan manajemen internal.
Setiap kali upah hendak naik, narasi ancaman selalu sama:
•Investasi akan pindah ke daerah yang lebih kecil upahnya, atau bahkan ke negara lain
•Industri tidak mampu bertahan
•PHK tidak terhindarkan
•Buruh harus realistis
Namun, ketika upah tidak naik signifikan pun:
•PHK tetap terjadi,
•pabrik tetap tutup,
•investasi tetap memilih negara lain,
•dan daya beli buruh terus menurun.
Fakta ini menunjukkan bahwa masalah utama industri bukan pada upah, melainkan pada ketergantungan impor, lemahnya inovasi, rendahnya kualitas tata kelola, hingga kebijakan fiskal yang belum memihak industri nasional.
Serikat pekerja justru menyebut bahwa rentang 8,5–10,5 persen masih di bawah kebutuhan hidup nyata.
Alasannya:
1. Inflasi pangan dan energi jauh di atas inflasi umum
2. Harga hunian naik lebih cepat dari pertumbuhan upah
3. Survei KHL di beberapa provinsi menunjukkan kebutuhan minimum 2026 meningkat signifikan
4. Upah minimum saat ini bahkan belum menutup 70% biaya hidup keluarga pekerja
Dalam konteks itu, kebijakan upah murah justru menekan konsumsi domestik, yang merupakan penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi nasional.
Kalangan buruh menilai bahwa pengusaha terlalu cepat mengeluh, tetapi lambat berinovasi. Pemerintah pun memiliki PR besar yakni memastikan regulasi upah tidak hanya melindungi dunia usaha, tetapi juga melindungi kesejahteraan pekerja.
Jika pengusaha menilai kenaikan upah ketinggian, pertanyaannya sederhana:
-Ketinggian dibanding apa?
-Biaya hidup yang terus naik?
-Produktivitas buruh yang meningkat?
-Margin keuntungan perusahaan yang justru membaik pasca pemulihan ekonomi?
Jika kenaikan 8 hingga 10 persen dianggap memberatkan, maka itu bukan kesalahan buruh. Itu sinyal bahwa industri butuh reformasi dan modernisasi, bukan menjadikan upah sebagai kambing hitam setiap tahun.
Debat soal upah sering kali dipenuhi retorika, bukan fakta.
Padahal, penentuan UMP 2026 seharusnya berbasis data ekonomi, bukan kekhawatiran sepihak.
Kenaikan 8,5 hingga 10,5 persen bukan angka sembarangan. Itu cermin dari:
•inflasi riil,
•pertumbuhan ekonomi,
•kebutuhan hidup layak,
•dan tren upah yang tertinggal secara regional.
Jadi ketika sebagian pengusaha bilang ketinggian, publik layak bertanya:
Yang ketinggian itu upah buruh, atau standar keadilan sosial yang terlalu rendah?