Rakyat Dipaksa Miskin di Negeri yang Kaya

Rakyat Dipaksa Miskin di Negeri yang Kaya

Medan,KPonline, – Kerusakan jutaan hektare hutan tropis Indonesia akibat eksploitasi brutal korporasi sawit dan pertambangan bukan sekadar persoalan ekologis, melainkan pelanggaran serius terhadap hukum dan konstitusi negara. Banjir bandang yang terjadi pada akhir November 2025 yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera, Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat, dan merenggut ribuan nyawa serta memiskinkan jutaan rakyat, merupakan konsekuensi langsung dari pembiaran negara terhadap kejahatan lingkungan yang sistematis dan terorganisir.

Secara konstitusional, negara tidak boleh bersikap netral atas kejahatan yang mengancam keselamatan rakyat. Pasal 28.A, UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya, sementara Pasal 28.H. ayat (1) menegaskan hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Ketika negara gagal mencegah perusakan hutan dan membiarkan praktik eksploitasi yang merusak daya dukung lingkungan, maka negara secara nyata telah melanggar hak asasi warganya.

Lebih jauh, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir elite ekonomi dan politik. Fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya,yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap amanat konstitusi tersebut. Sumber daya alam dijadikan komoditas rente, sementara rakyat sebagai pemilik kedaulatan ekonomi justru menjadi korban kerusakan dan kemiskinan struktural.

Dalam perspektif hukum lingkungan, prinsip pencegahan (precautionary principle) dan tanggung jawab negara (state responsibility) telah diabaikan. Negara tidak hanya lalai dalam pengawasan, tetapi juga permisif terhadap pelanggaran izin, pembukaan lahan ilegal, serta praktik pertambangan yang merusak kawasan hutan dan daerah aliran sungai. Pembiaran ini memenuhi unsur perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) karena kebijakan dan kelalaian negara telah secara langsung menimbulkan kerugian bagi rakyat.

Ironisnya, alih-alih melakukan koreksi struktural dan penegakan hukum yang tegas, negara memilih jalan pintas dengan kebijakan populisme semu. Bantuan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program Keluarga Harapan (PKH) dijadikan substitusi atas kewajiban konstitusional negara dalam mewujudkan keadilan sosial. Bantuan tersebut bukan solusi, melainkan instrumen pengendalian sosial yang membungkam kritik dan melanggengkan ketergantungan, sehingga rakyat direduksi menjadi objek belas kasihan, seperti pengemis yang meminta-minta, bukan menjadi subjek hak.

Padahal Pasal 34 UUD 1945 secara tegas mewajibkan negara memelihara fakir miskin dan anak terlantar melalui kebijakan yang berkeadilan dan berkelanjutan, bukan melalui kebijakan karitatif yang menutupi kegagalan struktural. Kemiskinan yang terus direproduksi di tengah kekayaan alam yang melimpah adalah bukti bahwa negara telah menyimpang dari tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di negeri yang kaya raya ini, kemiskinan bukanlah takdir, melainkan hasil dari kebijakan yang salah arah dan keberpihakan yang keliru. Selama hukum tunduk pada kekuasaan dan negara bersekongkol dengan pemilik modal, maka konstitusi hanya akan menjadi teks mati, sementara rakyat terus dipaksa miskin di tanahnya sendiri, dan harus pergi kenegara lain untuk mencari kerja sebagai babu dan buruh kasar hanya demi untuk mempertahankan hidup. (Anti Bangun)