Purwakarta, KPonline-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023 kembali menjadi sorotan menjelang penetapan upah minimum tahun 2026. Putusan tersebut seharusnya menjadi pijakan moral dan hukum bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan kenaikan upah yang berkeadilan. Di tengah tuntutan buruh agar upah minimum 2026 naik antara 8,5 hingga 10,5 persen, keputusan MK ini dianggap sebagai landasan yuridis bahwa kesejahteraan pekerja tidak boleh dikorbankan atas nama stabilitas ekonomi semata.
Putusan MK Nomor 168 pada dasarnya mengoreksi sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa penetapan upah minimum harus tetap berpihak pada prinsip living wage, yaitu upah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi pekerja dan keluarganya.
MK menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh menjadikan inflasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya variabel dalam menghitung kenaikan upah. Kebutuhan riil pekerja harus kembali menjadi dasar utama, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebelum direvisi.
Di lapangan, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) afiliasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan berbagai federasi serikat pekerja lainnya menyuarakan hal senada; putusan MK Nomor 168 tidak boleh diabaikan. Pemerintah harus menjadikannya rujukan utama dalam menentukan kenaikan upah minimum 2026.
Ketua Konsulat Cabang FSPMI Purwakarta, Fuad B. menyebut bahwa tuntutan kenaikan 8,5–10,5 persen bukanlah angka yang lahir dari emosi, tetapi hasil perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL) terbaru di berbagai daerah.
“Inflasi harga pangan, biaya pendidikan, dan transportasi naik signifikan. Sementara daya beli buruh terus menurun. Kalau pemerintah menolak menaikkan upah sesuai realitas KHL, itu artinya mereka mengingkari putusan MK sendiri,” tegas Fuad BM saat dikonfirmasi media perdjoeangan melalui seluler. Kamis, (5/11/2025).
Menurut survei yang dilakukan serikat pekerja, di 15 provinsi industri utama seperti Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Timur, biaya hidup rata-rata buruh untuk satu keluarga dengan dua anak sekolah mencapai Rp 8,5 hingga 9 juta per bulan. Namun, rata-rata upah minimum masih berkisar antara Rp 4,8 juta hingga Rp 5,3 juta. Artinya, ada kesenjangan lebih dari 40 persen antara pendapatan dan kebutuhan riil.
Selain itu, Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh menjadikan kebijakan upah sebagai instrumen politik anggaran atau pertumbuhan semata. “Upah bukan subsidi, bukan kebijakan populis, tapi hak konstitusional. Putusan MK Nomor 168 menegaskan posisi ini,” katanya.
Fuad menambahkan, jika pemerintah terus menggunakan formula PP 36/2021 tanpa mengacu pada koreksi MK, maka penetapan upah 2026 berpotensi inkonstitusional. “Bagaimana bisa pemerintah berbicara tentang negara hukum, kalau putusan lembaga konstitusional tertinggi saja diabaikan?” ujarnya.
Bagi buruh, kenaikan 8,5–10,5 persen bukan tuntutan berlebihan. Angka itu dianggap rasional, mengingat tahun 2025 ekonomi nasional tumbuh di kisaran 5,1 persen, sementara inflasi menembus 3,2 persen, dengan harga pangan seperti beras, cabai, dan telur yang naik hingga 15 persen dibanding tahun sebelumnya.
Ekonom dari Universitas Indonesia, Bhima Yudhistira, menilai bahwa penetapan upah minimum harus memperhatikan kondisi daya beli masyarakat yang stagnan. Menurutnya, selama tiga tahun terakhir, meski ekonomi tumbuh, daya beli buruh justru menurun.
“Ketimpangan antara produktivitas dan upah makin besar. Produktivitas pekerja naik sekitar 4,7 persen per tahun, tapi kenaikan upah rata-rata hanya 2,5 persen. Ini menyebabkan konsumsi rumah tangga kelas pekerja stagnan,” jelas Bhima.
Bhima menilai, kenaikan upah sebesar 8,5–10,5 persen justru akan memperkuat perekonomian nasional melalui efek multiplier pada konsumsi domestik. “Buruh bukan beban ekonomi. Mereka adalah motor utama konsumsi. Kalau upah naik, ekonomi ikut bergerak.”
Dari sisi hukum tata negara, putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding). Artinya, pemerintah wajib menjalankannya tanpa tawar-menawar. Hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam konteks ini, bila pemerintah tetap menetapkan kenaikan upah berdasarkan formula lama yang bertentangan dengan semangat Putusan MK 168, maka kebijakan tersebut dapat digugat melalui jalur hukum.
Tahun 2026 akan menjadi tahun ujian bagi pemerintah. Dimana di tengah meningkatnya biaya hidup dan melemahnya daya beli, publik menanti apakah pemerintah akan benar-benar menjadikan putusan MK sebagai dasar moral dan hukum, atau kembali berpihak pada logika industri yang menekan upah seminimal mungkin.
Pekerja berharap, pemerintah tidak lagi berdalih bahwa kenaikan upah tinggi akan mengganggu iklim investasi. Nyatanya, beberapa negara tetangga seperti Vietnam, Filipina, dan Thailand menaikkan upah buruh lebih tinggi dari Indonesia, namun tetap menjadi magnet investor.
Sejak terbitnya PP 36/2021, kalangan serikat pekerja menilai formula pengupahan menjadi tidak adil. Penetapan upah yang hanya mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi dianggap menghapus prinsip kebutuhan hidup layak yang selama puluhan tahun menjadi roh kebijakan upah minimum di Indonesia.
Akibatnya, sejak 2021 hingga 2024, kenaikan upah rata-rata nasional hanya di kisaran 1–3 persen per tahun. Hal ini memicu gelombang protes dan aksi mogok kerja di berbagai daerah.
Kini, dengan Putusan MK Nomor 168 yang mengoreksi sebagian substansi PP 36, buruh melihat secercah harapan baru. Namun harapan itu akan menjadi nyata hanya jika pemerintah benar-benar menjadikannya rujukan dalam perhitungan kenaikan upah 2026.
Lebih lanjut, Putusan MK Nomor 168 adalah tonggak penting yang menegaskan kembali bahwa kesejahteraan pekerja bukanlah kebijakan pilihan, melainkan kewajiban negara. Ia menjadi “kompas moral” agar pemerintah tidak lagi menilai buruh dari sudut efisiensi, tetapi dari sisi kemanusiaan.
Dalam konteks itu, penetapan kenaikan upah minimum 2026 sebesar 8,5-10,5 persen bukan hanya tuntutan ekonomi, melainkan juga ujian konstitusi-apakah negara benar-benar berdiri di pihak rakyat pekerja? Kita tunggu saja.