Putusan MK dan Desakan Revisi Formula Kenaikan Upah

Putusan MK dan Desakan Revisi Formula Kenaikan Upah

Purwakarta, KPonline-Angin November berembus pelan, membawa aroma ketegangan yang khas menjelang akhir tahun 2025 dimana saat angka, data, dan tuntutan kembali menjadi senjata kaum pekerja di hadapan meja kekuasaan. Dengan satu suara yaitu kenaikan upah 2026.

Namun, tahun ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar persentase kenaikan atau hitung-hitungan inflasi. Ada putusan hukum yang bergema lebih dalam yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023. Sebuah putusan yang ibarat cahaya kecil di ujung lorong panjang perjuangan buruh melawan ketimpangan.

Putusan MK itu menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan pengupahan, bertentangan dengan semangat konstitusi.

MK menegaskan bahwa upah minimum tidak bisa sekadar ditentukan oleh angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Lebih dari itu, upah harus mencerminkan kebutuhan hidup layak (KHL) sebuah konsep yang selama ini dipegang teguh dalam perjuangan buruh sejak masa reformasi.

Dengan bahasa hukum yang tegas, MK seolah mengingatkan kembali bahwa manusia bekerja bukan sekadar untuk bertahan hidup, tetapi untuk hidup layak menyokong keluarga, membayar sekolah anak, menyewa rumah yang manusiawi, dan menyisakan sedikit untuk hari tua.

Alhasil, putusan ini menampar nalar kering dari Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 yang dianggap terlalu mengekang. Dalam PP itu, kenaikan upah ditentukan dengan formula matematis:
kombinasi inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan variabel α yang menggambarkan produktivitas.

Angka-angka dingin itu seolah menafikan detak jantung manusia di balik setiap mesin pabrik.

Buruh kini merasa mendapat amunisi konstitusional. Mereka tidak lagi hanya bersuara atas nama perut yang lapar, tapi juga atas nama keadilan yang dijamin undang-undang tertinggi negeri ini.

Putusan MK tersebut menjadi nafas baru bagi perjuangan buruh di berbagai daerah. Mereka pun kini mendesak agar pemerintah pusat, provinsi mau pun Kabupaten berani menggunakan celah hukum yang tersedia untuk menaikkan upah di atas formula nasional, menyesuaikan dengan kondisi riil daerah masing-masing.

MK telah bicara, dan putusannya final serta mengikat. Artinya, pemerintah daerah punya ruang moral dan legal untuk menafsirkan ulang keadilan upah sesuai kondisi daerah.

Lebih lanjut, putusan MK ini bukan sekadar koreksi terhadap PP 51/2023, tapi penegasan kembali roh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945:
“Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”

Ketika buruh berbicara tentang kenaikan upah 2026sebesar 8,5 hingga 10,5 persen, banyak yang menuduh mereka tak realistis. Namun siapa yang bisa menyebut realistis jika harga hidup naik lebih cepat dari kenaikan upah?
Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika hanya menebal di laporan korporasi dan tak menetes ke meja makan pekerja?

Inilah esensi dari perdebatan panjang antara buruh dan pengusaha, antara angka dan kemanusiaan. Formula pengupahan dalam PP 51/2023 menempatkan manusia sebagai variabel, bukan subjek. Sedangkan Putusan MK mengembalikan manusia ke pusat perhitungan.

Dalam konteks inilah desakan revisi formula menjadi sangat relevan.
Serikat buruh, khususnya FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia), terus menyuarakan agar pemerintah sejalan dengan putusan MK.
Bagi mereka, memperjuangkan revisi bukan sekadar soal gaji, tetapi soal harga diri.

Momentum tahun 2026 bukan hanya tentang angka kenaikan upah.
Ia tentang revisi cara pandang negara terhadap pekerjanya. Tentang keberanian pemerintah daerah untuk tidak sekadar menjadi pelaksana, tetapi juga pelindung yang memahami denyut nadi rakyat di wilayahnya.

Jika MK sudah membuka jalan, maka pemerintah pusat dan daerah seharusnya tak menutup mata. KHL bukan sekadar istilah, melainkan realitas kehidupan yang dihadapi jutaan keluarga pekerja setiap hari.

Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 telah menyalakan lilin kecil di tengah gelapnya kebijakan pengupahan.
Kini tinggal bagaimana pemerintah berani menjaga nyala itu, agar tidak padam dihempas angin politik dan kepentingan ekonomi.

Karena dalam sejarah panjang bangsa ini, keadilan sosial selalu dimulai dari hal sederhana, yakni dari gaji yang cukup untuk hidup dengan layak, bukan sekadar bertahan.