Pelalawan, KPonline – Di tengah hamparan kebun sawit yang hijau di Nilo Timur, Desa sungai buluh, Kabupaten Pelalawan, Riau, Selasa (26/8/2025) menjadi hari yang berbeda. Kantor Divisi 6 & 7 PT Adei Plantation & Industry yang biasanya sunyi, mendadak dipenuhi percakapan serius. Di sana, berlangsung sebuah perundingan bipartit antara manajemen perusahaan dan Pengurus Unit Kerja (PUK) SPPK FSPMI. Pertemuan itu bukan sekadar formalitas, melainkan ruang penentuan arah perjuangan buruh berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Di satu sisi, manajemen diwakili oleh Mayhendra, Humas perusahaan. Di sisi lain, hadir Martinus Efendi, Ketua PC FSPMI Pelalawan, serta Handoko, Ketua PUK PT Adei, lengkap dengan pengurus inti. Perundingan berjalan tegang, namun tetap diwarnai semangat untuk mencari jalan tengah. Pihak serikat membawa harapan besar: memperjuangkan hak normatif buruh PKWT yang selama ini dinilai terabaikan.
Ada tiga tuntutan utama yang diajukan. Pertama, perusahaan wajib membayar kompensasi sesuai ketentuan. Kedua, buruh PKWT tidak boleh digaji di bawah Upah Minimum Sektoral (UMS). Ketiga, pekerja PKWT berhak atas cuti. “Sejauh ini, jangankan untuk penghidupan layak, untuk kebutuhan sehari-hari saja sulit tercukupi,” ujar Yunzira, salah seorang buruh PKWT yang hadir memberi kesaksian.
Kesaksian Yunzira membuka mata banyak pihak. Ia mencontohkan pekerjaan ablasi yang dalam kontrak seharusnya hanya membuang buah dompet nyatanya di lapangan berubah drastis. Pekerja dipaksa membuang buah sawit yang sudah layak panen, bahkan jumlahnya mencapai 20 hingga 40 janjang per pokok. Bandingkan dengan pemanen reguler yang hanya memetik 3–5 janjang. “Sehari paling dapat 1–2 pasar, gajinya Rp10 ribu per pasar. Ini jelas perbudakan terselubung,” katanya dengan suara bergetar.
Manajemen memiliki pandangan berbeda. Romi demiliga berpendapat bahwa masalah justru ada pada kemauan pekerja. Menurutnya, banyak yang tidak menjalankan tugas sesuai rotasi kerja, sehingga beban kerja menumpuk. “Kalau pekerjaan dilakukan benar, mestinya pekerja tinggal menyusuri ancak tanpa banyak pekerjaan tambahan,” ucapnya. Pernyataan ini sontak menimbulkan reaksi, karena buruh merasa tuduhan itu justru mengabaikan fakta di lapangan.
Handoko, Ketua PUK, menilai akar persoalan ada pada lemahnya pengawasan. “Saya dulu juga mandor, saya tahu betul bagaimana pekerjaan ablasi. Kalau dikerjakan sesuai kontrak, buruh bisa dapat upah melebihi UMR. Tapi yang terjadi sekarang, kontrak kerja tidak dijalankan sebagaimana mestinya,” tegasnya. Ia menekankan pentingnya evaluasi manajemen sebelum merekrut tenaga kerja baru, agar tidak ada lagi kesenjangan antara isi kontrak dan realita.
Senada dengan itu, Martinus Efendi menekankan soal keselamatan kerja. Ia menyoroti kasus buruh yang dipindahkan ke pekerjaan berisiko tinggi tanpa mempertimbangkan kemampuan fisik. “Saya pernah jadi sopir bus, lalu dipindahkan ke pekerjaan mencuci seng di atap. Berat badan saya jelas tidak mendukung, bisa-bisa nyawa taruhannya. Sama halnya dengan ablasi. Kalau hanya buang buah dompet, masih mungkin. Tapi kalau harus sampai 40 janjang per pokok, itu sama saja bunuh diri,” ujarnya.
Perundingan hari itu belum menghasilkan keputusan final. Namun jelas, ada jurang lebar antara buruh dan manajemen soal pemahaman kontrak kerja. Di satu sisi, buruh menuntut keadilan: upah layak, cuti, dan perlindungan kerja manusiawi. Di sisi lain, manajemen masih berpegang pada asumsi bahwa masalah ada pada etos kerja pekerja itu sendiri.
Peristiwa di PT Adei Plantation & Industry menjadi cermin buram kondisi buruh PKWT di perkebunan sawit. Kontrak kerja yang seharusnya melindungi, justru sering dijadikan tameng untuk menambah beban. FSPMI hadir sebagai garda depan untuk memastikan buruh tidak lagi menjadi korban “perbudakan terselubung”. Jalan menuju keadilan memang panjang, tapi perjuangan ini telah menyalakan api solidaritas yang tak mudah dipadamkan.
Penulis : Selamat riyanto