Program Magang Nasional Dinilai Hina Lulusan: Upah Rp9 Ribu per Jam

Program Magang Nasional Dinilai Hina Lulusan: Upah Rp9 Ribu per Jam
Foto Ilustrasi

Jakarta, KPonline – Program magang nasional bergaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP) yang diluncurkan pemerintah menuai kritik keras dari kalangan buruh dan serikat pekerja. Meskipun pemerintah mengklaim program ini sebagai upaya membuka kesempatan kerja bagi generasi muda, Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh (KSP-PB) menilai kebijakan tersebut justru merupakan bentuk eksploitasi terselubung terhadap fresh graduate.

Sebelumnya, pemerintah telah membuka 20 ribu kuota magang bergaji nasional untuk lulusan baru dari seluruh Indonesia. Program ini diperuntukkan bagi fresh graduate yang baru lulus maksimal satu tahun, dengan gaji yang dijanjikan setara UMP di masing-masing daerah.

Namun, menurut KSP-PB, kebijakan itu bukanlah solusi dari persoalan ketenagakerjaan, melainkan penghinaan terhadap jerih payah generasi muda yang telah berjuang menempuh pendidikan tinggi dengan biaya dan waktu yang tidak sedikit.

Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menegaskan bahwa kebijakan magang bergaji UMP menunjukkan rendahnya penghargaan pemerintah terhadap dunia pendidikan dan perjuangan kaum muda.

“Sekolahnya sulit, biaya mahal, jam kerja seperti operator, tapi upahnya hanya Rp9 ribu per jam. Itu bukan penghargaan, itu penghinaan,” tegas Said Iqbal.

Said Iqbal kemudian mencontohkan perhitungan sederhana. Jika UMP Jawa Barat sebesar Rp2,2 juta per bulan dibagi 30 hari, maka buruh magang hanya menerima sekitar Rp73 ribu per hari. Dengan jam kerja delapan jam, artinya mereka dibayar sekitar Rp9 ribu per jam, jumlah yang bahkan tidak cukup untuk membeli sepiring nasi goreng dan segelas air mineral.

Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya merendahkan nilai pendidikan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana pemerintah gagal memahami makna kerja layak bagi generasi muda.

“Kalau hanya dibayar Rp9 ribu per jam, bagaimana mereka bisa hidup layak? Ini bukan pelatihan, ini eksploitasi dengan kedok pengalaman kerja,” tambahnya.

Di sisi lain, pemerintah membela diri. Melalui Staf Khusus Menteri PPN/Bappenas Sukmo Harsono, dijelaskan bahwa program magang nasional justru dirancang untuk menjembatani lulusan baru dengan dunia kerja. Ia memastikan bahwa peserta magang akan mendapatkan gaji sesuai UMR, yang dibayarkan oleh instansi atau perusahaan yang merekrut.

“Gaji mereka menjadi tanggung jawab instansi yang merekrut. Ini bukan kerja gratis. Pemerintah hanya memfasilitasi agar mereka mendapat kesempatan belajar sekaligus bekerja,” ujar Sukmo dikutip dari dialognya di Pro3 RRI, Jumat (10/10/2025).

Ia menegaskan, program ini adalah bentuk kepedulian pemerintah dalam menyerap angkatan kerja muda. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi juga dilibatkan untuk memastikan bahwa peserta magang mendapatkan pengalaman praktis dan pelatihan keterampilan kerja.

“Magang ini untuk persiapan mereka agar terserap oleh berbagai macam perusahaan. Pemerintah ingin meningkatkan skill peserta magang secara praktis,” jelasnya.

Program tersebut juga tidak terbatas pada BUMN, tetapi terbuka bagi perusahaan swasta maupun perusahaan daerah. Sukmo menambahkan, semua peserta wajib menerima gaji setara UMR setempat, tanpa terkecuali.

“Mereka direkrut, maka gajinya disesuaikan UMR daerah. Pemerintah ingin memberikan peluang yang adil bagi semua lulusan baru,” ujarnya.

Meskipun pemerintah menegaskan niat baik di balik program tersebut, banyak pihak menilai bahwa esensi magang bergaji setara UMP ini justru menurunkan standar kerja profesional.

Selain itu, kebijakan ini berpotensi menggantikan posisi pekerja tetap dan menciptakan generasi buruh kontrak baru dengan kedok magang. Dalam praktiknya, perusahaan dapat memanfaatkan tenaga magang untuk pekerjaan rutin dengan beban penuh tanpa komitmen jangka panjang.

Program magang nasional memang tampak menjanjikan di atas kertas dengan membuka kesempatan bagi lulusan baru, memberi pengalaman kerja, dan menjamin upah setara UMR. Namun di balik janji itu, tersimpan kekhawatiran besar bahwa kebijakan ini bisa menjadi jalan baru bagi praktik perburuhan murah.

Pertanyaannya kini bukan hanya soal berapa upah yang diterima, tetapi apa nilai yang sebenarnya dihargai oleh negara terhadap pendidikan dan tenaga kerja muda.

Apakah mereka dilihat sebagai investasi masa depan atau sekadar “tenaga siap pakai” dengan harga semurah mungkin?