Purwakarta, KPonline – Usulan kenaikan upah minimum tahun 2026 sebesar 8,5 hingga 10,5 persen yang disuarakan Serikat Buruh disambut baik oleh kalangan pekerja. Kenaikan ini dinilai sebagai langkah strategis untuk menghidupkan kembali daya beli buruh, memperkuat konsumsi domestik, serta menekan ketimpangan ekonomi yang sempat melebar inflasi dan stagnasi pendapatan selama dua tahun terakhir.
Dan tuntutan nilai kenaikan tersebut itu pun menjadi kabar baik di tengah harga kebutuhan pokok yang tidak murah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata inflasi 2025 mencapai 3,1 persen, dengan komponen utama berasal dari bahan pangan dan transportasi. Artinya, penyesuaian upah di atas 8 persen bukan hanya rasional, tetapi juga menjadi kebutuhan mendesak agar buruh tidak semakin tertinggal dalam arus ekonomi yang terus bergerak.
Kemudian, Efek domino dari kenaikan upah minimum akan terasa pada sektor konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia.Dimana setiap kenaikan upah, sekecil apapun, memiliki dampak besar terhadap siklus ekonomi daerah. Buruh yang menerima tambahan pendapatan cenderung membelanjakannya untuk kebutuhan pokok, pendidikan, dan transportasi. Ujungnya, sektor UMKM ikut terdongkrak.
Sebelumya, sepanjang 2024, daya beli pekerja mengalami tekanan akibat stagnasi upah dan kenaikan harga barang konsumsi. Dimana salah satu lembaga Riset ternama tanah air menunjukkan bahwa daya beli buruh pabrik turun hingga 7 persen dalam dua tahun terakhir.
Kenaikan upah 2026 diperkirakan akan mengembalikan keseimbangan itu. Misalnya, buruh di sektor manufaktur dengan upah Rp4,5 juta per bulan, jika naik 10 persen, akan memperoleh tambahan Rp450 ribu. Jumlah ini bisa dialokasikan untuk kebutuhan hidup yang memenuhi standarisasi kelayakan.
Selain dampak ekonomi, kenaikan upah juga memiliki dimensi keadilan sosial. Buruh selama ini menjadi tulang punggung industri, namun kesejahteraannya belum sebanding dengan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang pada 2025 diproyeksikan mencapai 5,3 persen.
Serikat pekerja sendiri menilai, dengan inflasi yang stabil dan keuntungan korporasi yang meningkat, pemerintah dan pengusaha memiliki ruang cukup luas untuk menaikkan upah secara signifikan.
Intinya, kenaikan upah minimum 8,5-10,5 persen bukanlah beban ekonomi, melainkan investasi sosial jangka panjang. Dengan buruh yang lebih sejahtera, produktivitas meningkat, loyalitas kerja membaik, dan daya beli menguat.
Untuk itu, sebelum ditetapkannya nilai kenaikan upah minimum 2026. Ketua Konsulat Cabang FSPMI Purwakarta mengintruksikan jajarannya untuk segera melakukan rapat. “Tolong ide dan gagasan tentang UMK dan UMSK 2026 dikemukakan dalam rapat darurat yang diikuti seluruh Pimpinan Unit Kerja (PUK) FSPMI Purwakarta,” tegasnya.
Kemudian menurut Fuad, Ekonomi Indonesia yang selama ini bertumpu pada konsumsi domestik akan mendapatkan suntikan energi baru dari kantong para pekerja yang kembali bernapas lega dengan kenaikan upah 8,5 hingga 10,5 persen.
“Bagi buruh, kebijakan ini bukan hanya sekadar angka, melainkan pengakuan atas perjuangan dan kontribusi mereka terhadap kemajuan bangsa. Karena sejatinya bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai para pekerjanya,” pungkasnya.