Jakarta, KPonline – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan oleh Koalisi Serikat Pekerja–Partai Buruh (KSP-PB) kembali menyoroti salah satu isu krusial dalam dunia kerja: praktik kontrak berkepanjangan atau yang dikenal sebagai “kontrak abadi”. Isu ini dinilai menjadi sumber utama ketidakadilan yang dialami jutaan buruh di Indonesia.
Bagi perusahaan, sistem kontrak dianggap menguntungkan karena memberi keleluasaan dalam menyesuaikan jumlah tenaga kerja sesuai kebutuhan produksi dan kondisi pasar. Risiko juga lebih rendah, sebab perusahaan dapat menghentikan kontrak dengan mudah tanpa beban hukum panjang, sekaligus mengurangi kewajiban membayar pesangon besar, jaminan pensiun, maupun tunjangan jangka panjang.
Namun, di sisi lain, buruh menanggung beban berat akibat sistem ini. Banyak pekerja yang telah bertahun-tahun mengabdi di perusahaan yang sama, tetapi tetap berstatus kontrak tanpa kepastian diangkat menjadi karyawan tetap. Situasi ini membuat mereka kehilangan kepastian karir, hak-hak penuh sebagai pekerja, hingga kesempatan mendapatkan program kesejahteraan perusahaan.
Koalisi serikat pekerja menilai kondisi tersebut sebagai bentuk eksploitasi terselubung. Mereka menegaskan bahwa praktik “kontrak abadi” harus dihapus karena bertentangan dengan prinsip perlindungan buruh. Menurut para aktivis, pekerja yang telah lama bekerja seharusnya mendapat pengakuan melalui status karyawan tetap, sehingga berhak memperoleh jaminan sosial, perlindungan hukum, dan kepastian karir yang layak.
Di sisi buruh, status karyawan tetap juga memberi dampak positif bagi hubungan industrial. Buruh yang memiliki kepastian kerja cenderung lebih loyal, termotivasi, dan produktif. Hal ini pada akhirnya juga menguntungkan perusahaan karena stabilitas tenaga kerja dapat menekan konflik dan meningkatkan produktivitas.
Meski demikian, sebagian perusahaan masih enggan mengangkat pekerja kontrak menjadi tetap dengan alasan biaya tambahan yang besar, kesulitan pemutusan hubungan kerja, hingga kekhawatiran menurunnya motivasi pekerja. Perdebatan inilah yang membuat isu kontrak vs tetap terus menjadi polemik dalam dunia usaha dan perburuhan.
Dalam konteks tersebut, KSP-PB menegaskan bahwa RUU Ketenagakerjaan harus berpihak pada buruh. Regulasi baru diharapkan tidak hanya memperketat aturan kontrak kerja, tetapi juga menjamin pekerja yang telah bekerja dalam jangka waktu tertentu secara otomatis diangkat menjadi karyawan tetap.
Sekjen FSPMI, Sabilar Rosyad, menekankan pentingnya perubahan ini.
“Kontrak abadi harus dihapus. RUU Ketenagakerjaan yang baru harus menjadi pintu untuk menaikkan derajat karyawan kontrak menjadi karyawan tetap. Tidak boleh ada lagi diskriminasi, baik dalam tunjangan, jaminan sosial, maupun kesempatan karir. Buruh kontrak bekerja sama kerasnya dengan buruh tetap, maka hak-hak mereka pun seharusnya setara,” tegasnya.
Koalisi buruh juga menegaskan bahwa perjuangan ini bukan sekadar persoalan status, tetapi menyangkut masa depan pekerja dan keluarganya. Kepastian kerja menjadi fondasi penting untuk membangun kesejahteraan, pendidikan anak, dan stabilitas sosial.
RUU Ketenagakerjaan yang kini difinalisasi KSP-PB diharapkan menjadi momentum perubahan besar. Jika regulasi baru benar-benar mampu menghapus praktik kontrak abadi dan membuka jalan bagi buruh kontrak untuk menjadi karyawan tetap, maka hal itu akan menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan buruh di Indonesia. Sebaliknya, jika tuntutan ini diabaikan, polemik kontrak vs tetap akan terus menjadi sumber ketegangan dalam hubungan industrial.



