Jakarta, KPonline-Dalam agenda In House Training Social Media yang diikuti Tim Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), sebuah kalimat terdengar ringan, nyaris bercanda, tapi justru menampar kesadaran semua peserta. Hugeng Widodo, salah satu peserta media KSBSI, memberikan kata sambutan dengan gaya santai namun menusuk: “Kadang-kadang langsungnya lagi ganteng-gantengnya, kadang-kadang dikurangi. Kadang bilang, kok pahit ini.”
Dari candaan soal “ganteng” dan “pahit”, Hugeng menyeret peserta masuk ke inti persoalan: emosi dalam konten.
Menurut Hugeng, konten media, terutama media perjuangan buruh tidak boleh sekadar menyampaikan informasi dingin. Ada emosi yang harus disentuh. Takut, marah, aman, atau peduli. Jika emosi itu dibiarkan liar tanpa arah, dampaknya bisa berbahaya. Tapi jika dikelola dengan sadar, ia bisa menjadi kekuatan.
“Kalau orang takut, biasanya marah. Kalau marah dan dibiarkan, efeknya ke mana-mana,” tegasnya. Karena itu, media tak boleh asal melempar isu yang “terlalu tinggi”, terlalu jauh dari keseharian manusia yang membacanya. Isu boleh besar, tapi harus dekat.
Dekat dengan siapa? Dengan manusia.
Bukan sekadar angka. Bukan jargon. Bukan istilah teknis yang kering.
Hugeng menekankan, konten yang kuat selalu punya rasa. Bukan berarti visualnya harus menampilkan wajah manusia, tetapi harus menghadirkan rasa aman, rasa takut, rasa kehilangan, atau rasa harapan. Sungai bukan cuma sungai. Sungai adalah tempat orang mencari ikan, menanak nasi, dan menggantungkan hidup. Pabrik bukan cuma bangunan. Ia adalah sumber nafkah keluarga, tempat orang berangkat pagi dan pulang malam dengan tubuh lelah.
“Dampak itu bukan ke kita,” ujarnya. “Tapi ke mereka yang nonton.”
Inilah titik krusial yang ditekankan berulang-ulang. Media buruh tidak boleh egois. Konten tidak boleh berhenti pada kemarahan penulis atau aktivisnya. Yang harus ditampilkan adalah dampak sosial. Apa yang terjadi pada keluarga, pada lingkungan, pada masyarakat luas jika sebuah kebijakan, pemindahan pabrik, atau eksploitasi dibiarkan berjalan.
Dalam sambutannya itu, Hugeng memberi contoh sederhana. Ketika pabrik dipindahkan, yang terdampak bukan hanya pekerja di dalamnya, tapi keluarga yang ditanggung, anak yang sekolahnya terancam, dapur yang bisa tak lagi berasap. Inilah cerita-cerita yang membuat publik berhenti menggulir layar.
Pesan Hugeng itu jelas. Media perjuangan tidak cukup hanya benar, ia harus terasa. Harus membuat orang berpikir, gelisah, bahkan takut. Bukan demi sensasi, tapi demi kesadaran.
Di suatu ruangan Hotel Amaris Juanda, Jakarta Pusat, pada Senin (15/12/2025) para peserta akhirnya memahami satu hal penting. Di era media sosial, perjuangan tidak kalah di jalan, tapi bisa kalah di konten. Dan konten yang mati adalah konten yang tak punya arti di dalamnya.