Perubahan Bangsa Dimulai dari Perubahan Diri

Perubahan Bangsa Dimulai dari Perubahan Diri

Pekan Baru, KPonline – Perubahan besar dalam kehidupan berbangsa tidak akan pernah terjadi jika rakyat sendiri belum melakukan perubahan dari dalam diri. Hal itu mencuat sebagai refleksi atas maraknya aksi unjuk rasa yang kerap berakhir ricuh, mulai dari kerusuhan, pembakaran hingga penjarahan. Fenomena tersebut bukan semata akibat ketidakpuasan, tetapi juga cerminan pola pikir yang enggan melakukan transformasi secara mendasar.

Gelombang aksi yang dilakukan buruh, mahasiswa, hingga masyarakat sipil memang berangkat dari keresahan terhadap kondisi bangsa. Rakyat semakin hari merasa muak dengan perilaku para wakilnya di parlemen. Duduk nyaman di kursi empuk, menikmati gaji besar dengan fasilitas lengkap, namun kinerja mereka justru kerap dipertanyakan. Terutama ketika berbicara soal pembentukan maupun penghapusan undang-undang yang dinilai menyengsarakan rakyat.

Kekecewaan rakyat semakin bertambah ketika sejumlah anggota dewan melontarkan kata-kata yang mencederai hati publik. Ucapan seperti “tolol”, “rakyat jelata”, hingga “mbahmu bisa menciptakan tanah” menambah luka bagi masyarakat yang merasa tidak dihargai. Alih-alih menjadi representasi rakyat, mereka justru menampilkan sikap arogan yang memperlebar jurang antara parlemen dan konstituennya.

Insiden aksi unjuk rasa pada 25 Agustus lalu menjadi salah satu bukti nyata. Aksi tersebut berujung pada pembakaran, pengrusakan, hingga penjarahan. Namun, di balik tindak kriminal yang terjadi, terdapat rasa marah dan kekecewaan mendalam terhadap para wakil rakyat. Pertanyaan besar pun muncul, apakah pemerintah hanya akan diam menyaksikan rentetan peristiwa serupa terus berulang?

Yang harus disadari, setiap kerusuhan yang merusak infrastruktur dan fasilitas umum pada akhirnya justru merugikan rakyat itu sendiri. Anggaran besar harus dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan, dan sumber dana itu tidak lain berasal dari kantong rakyat melalui pajak dan pungutan lain. Sementara para pelaku penjarahan akan ditangkap, diadili, dan dijebloskan ke penjara. Akhirnya, rakyat juga yang menanggung beban berlapis.

Karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengubah pola pikir dalam menyampaikan aspirasi. Aksi unjuk rasa jangan sampai diarahkan pada penghancuran fasilitas publik yang sejatinya adalah milik bersama. Lebih baik fokus pada oknum pejabat atau pihak yang terbukti menyakiti rakyat dengan ucapan maupun kebijakan, sehingga ada efek jera bagi mereka yang semena-mena dalam menjalankan amanah.

Hanya dengan cara itu, ruang dialog dan kontrol sosial dapat berjalan lebih sehat. Para pejabat pun akan lebih berhati-hati dalam bertindak maupun berbicara, karena sadar rakyat menuntut tanggung jawab moral. Dan yang lebih penting, rakyat mulai belajar bahwa perubahan bangsa hanya bisa terjadi jika dimulai dari perubahan sikap dalam diri, bukan dengan jalan merusak kepentingan bersama.