Jakarta, KPonline — Reformasi ketenagakerjaan di Indonesia memasuki babak penting dengan rencana penyusunan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru. Momentum ini harus digunakan untuk memperbaiki kelemahan regulasi sebelumnya dan memastikan perlindungan menyeluruh bagi seluruh pekerja. Dalam konteks ini, isu perlindungan pekerja perempuan dan anak harus menjadi agenda prioritas, bukan sekadar tambahan.
Selama ini pekerja perempuan menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, baik struktural maupun kultural. Mereka sering kali diperlakukan sebagai tenaga kerja kelas dua, dengan hak-hak yang dilemahkan oleh praktik di lapangan. Mulai dari beban kerja ganda, risiko keselamatan ketika bekerja malam, keterbatasan akses cuti reproduksi, hingga ancaman kekerasan dan pelecehan.
“Pekerja perempuan bukanlah warga kelas dua di dunia kerja. UU Ketenagakerjaan yang baru harus tegas menolak diskriminasi, melindungi kesehatan reproduksi, menjamin keselamatan, serta menghapus ketidakadilan yang selama ini dialami buruh perempuan. Bahkan diskriminasi dalam perpajakan, seperti pajak penghasilan ganda bagi perempuan menikah, harus dihapuskan karena itu melanggengkan ketidaksetaraan,” tegas Kahar S. Cahyono, Sekretaris Tim Perumus RUU Ketenagakerjaan KSPI.
KSPI menekankan agar larangan bekerja malam bagi perempuan hamil diberlakukan otomatis, bukan hanya atas rekomendasi dokter. Faktanya, tidak semua pekerja perempuan mendapatkan pemeriksaan medis secara rutin. Aturan ini akan memberi perlindungan nyata, kecuali pekerja sendiri yang menghendaki dan dinyatakan aman secara medis.
Selain itu, penyediaan transportasi aman bagi pekerja perempuan yang bekerja malam harus menjadi kewajiban mutlak. Perusahaan wajib memastikan rute aman, kendaraan laik jalan, serta pengemudi yang terlatih. “Keselamatan pekerja perempuan adalah tanggung jawab negara dan pemberi kerja, bukan urusan pribadi buruh,” tambah Kahar.
Perlindungan kesehatan reproduksi harus ditegaskan. Hak cuti melahirkan minimal 14 minggu sesuai Konvensi ILO No. 183 wajib menjadi standar. Namun, bila terdapat regulasi nasional yang lebih baik seperti UU KIA yang memberi cuti hingga 6 bulan, maka aturan yang lebih menguntungkan pekerja harus diberlakukan.
KSPI juga menegaskan larangan PHK karena kehamilan, persalinan, atau perawatan anak. Hak cuti haid tanpa syarat harus dipastikan sebagai hak mutlak, tanpa birokrasi medis yang menghambat. Di sisi lain, hak cuti ayah yang memadai juga penting untuk mendorong kesetaraan pengasuhan. Negara-negara seperti Spanyol dan Korea Selatan telah memberi contoh progresif yang dapat dijadikan rujukan.
UU baru juga wajib memasukkan pencegahan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja dengan merujuk Konvensi ILO No. 190. KSPI mendesak agar perusahaan diwajibkan membuat kebijakan tertulis anti pelecehan, mekanisme pengaduan yang aman, serta komitmen nol toleransi terhadap pelaku. Tim penanganan kasus yang melibatkan serikat pekerja, manajemen, dan tenaga profesional juga perlu dibentuk.
Kahar menegaskan, “Kekerasan dan pelecehan tidak hanya terjadi di dalam pabrik atau kantor, tetapi juga bisa terjadi saat perjalanan dinas, kegiatan sosial, bahkan komunikasi lewat teknologi. Perlindungan pekerja perempuan harus menyeluruh.”
Menolak Diskriminasi dalam Segala Bentuk
KSPI menekankan bahwa diskriminasi terhadap pekerja perempuan harus dihapuskan secara total, termasuk diskriminasi dalam rekrutmen, promosi, hingga perpajakan. Saat ini, banyak perempuan menikah dianggap lajang, sehingga harus membayar pajak penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Padahal itu jelas merugikan dan memperkuat ketidakadilan struktural.
KSPI menyerukan agar DPR RI menjadikan isu perlindungan pekerja perempuan dan anak sebagai pilar utama dalam pembahasan UU Ketenagakerjaan baru. Tanpa keberpihakan nyata, undang-undang hanya akan melanggengkan diskriminasi lama.
“Buruh perempuan adalah penopang keluarga sekaligus masa depan bangsa. UU Ketenagakerjaan yang baru harus memastikan mereka terlindungi sepenuhnya, tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun,” pungkas Kahar S. Cahyono.