Jakarta, KPonline – Pada 20 Oktober 2025, di Samarinda, Kalimantan Timur, KSPI dan KSBSI menyelenggarakan lokakarya bertajuk Preparing Workers Representatives to Join Skill Development. Kegiatan ini melibatkan perwakilan pekerja formal dan informal dari berbagai sektor. Tujuannya adalah untuk memastikan pekerja memiliki kapasitas dan posisi yang kuat dalam menghadapi perubahan besar akibat transisi energi.
Kalimantan Timur adalah wilayah yang sedang mengalami perubahan struktural ekonomi secara nyata. Selama bertahun-tahun, perekonomian daerah ini bergantung pada batu bara. Namun, arah kebijakan nasional dan global kini menuntut pergeseran menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan. Perubahan ini menciptakan dua sisi yang tidak bisa diabaikan. Di satu sisi, muncul jenis-jenis pekerjaan baru yang berkaitan dengan energi terbarukan dan teknologi bersih. Di sisi lain, ribuan pekerja di sektor batu bara dan industri pendukungnya menghadapi ancaman kehilangan pekerjaan.
Saat presentasi, saya menekankan bahwa pengembangan keterampilan menjadi elemen kunci dari apa yang disebut sebagai just transition atau transisi yang adil. Transisi yang adil hanya dapat terwujud jika pekerja dilibatkan secara nyata dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya. Tidak boleh ada kelompok yang ditinggalkan, baik mereka yang bekerja di sektor formal maupun informal. Pekerja harus menjadi subjek, bukan objek, dalam setiap kebijakan perubahan industri.
Perubahan yang cepat tanpa kesiapan akan menciptakan ketimpangan baru. Di tengah peralihan ke ekonomi hijau, banyak pekerja tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri baru. Kondisi ini disebut sebagai skills mismatch, keterputusan antara kemampuan pekerja dan tuntutan pekerjaan baru. Jika negara tidak menyiapkan sistem pelatihan yang terarah dan berpihak pada pekerja, maka transisi energi akan melahirkan pengangguran baru dalam skala besar.
Prinsip utama dari transisi yang adil terletak pada keterlibatan pekerja, penciptaan pekerjaan layak, perlindungan sosial, pengembangan keterampilan, dan penghormatan terhadap hak-hak dasar pekerja. Kelima hal itu saling terhubung. Partisipasi pekerja harus bermakna, bukan simbolik. Mereka perlu dilibatkan dalam setiap tahap—dari penyusunan kebijakan, pelaksanaan pelatihan, hingga evaluasi hasilnya.
Transisi energi juga harus menciptakan pekerjaan yang aman dan berupah layak. Pekerjaan hijau tidak boleh diartikan semata sebagai pekerjaan di sektor energi terbarukan, tetapi harus mencerminkan standar kerja yang adil dan bermartabat. Perlindungan sosial menjadi jaring pengaman agar pekerja yang terdampak tidak kehilangan penghidupan. Jaminan kehilangan pekerjaan, jaminan kesehatan, dan pensiun harus dijamin keberlanjutannya. Sementara itu, pengembangan keterampilan menjadi jembatan agar pekerja dapat berpindah dari sektor lama ke sektor baru tanpa kehilangan posisi tawar. Dan di atas semua itu, hak-hak dasar seperti kebebasan berserikat, hak berunding, serta keselamatan dan kesehatan kerja harus tetap dijunjung tinggi.
Saya menegaskan dalam sesi itu bahwa energi bisa berubah, tetapi perlindungan terhadap hak dan kepentingan pekerja tidak boleh berubah. Prinsip ini harus menjadi pegangan dalam setiap kebijakan transisi. Pemerintah perlu membangun strategi nasional pengembangan keterampilan yang menyeluruh, dengan melibatkan serikat pekerja sebagai mitra utama. Strategi tersebut harus memuat peta jalan peningkatan dan penyesuaian keterampilan, termasuk identifikasi kebutuhan green skills di berbagai sektor, serta sistem informasi yang mencatat data pekerjaan hijau secara nasional. Tanpa data yang akurat dan perencanaan yang sistematis, kebijakan transisi hanya akan menjadi wacana tanpa arah.
Serikat pekerja memiliki peran penting dalam memastikan keadilan itu berjalan. Di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah membentuk gugus tugas untuk mempercepat pengorganisasian pekerja informal. Tujuannya agar kelompok pekerja yang selama ini tidak tercatat secara formal juga memperoleh akses terhadap pelatihan dan dialog sosial. Pekerja informal tidak boleh dikecualikan dari program transisi, sebab mereka juga bagian dari rantai produksi yang terdampak perubahan ekonomi.
Diskusi dalam lokakarya itu mengerucut pada beberapa persoalan praktis, bagaimana suara pekerja dapat diintegrasikan dalam perencanaan pelatihan, bagaimana memastikan program pelatihan benar-benar menjangkau perempuan dan pekerja informal, serta bagaimana mengukur hasil pelatihan agar menghasilkan pekerjaan layak, bukan hanya sertifikat. Dari perdebatan itu, muncul kesadaran bersama bahwa peran serikat pekerja tidak cukup berhenti pada advokasi. Serikat pekerja harus ikut terlibat dalam pelaksanaan dan pengawasan program pelatihan tenaga kerja, serta memastikan hasilnya benar-benar membuka akses pekerjaan bagi anggotanya.
Pengembangan keterampilan bukan pelengkap, tetapi syarat utama agar transisi menuju ekonomi hijau tidak meninggalkan pekerja. Transisi yang adil tidak bisa hanya diukur dari target pengurangan emisi, tetapi dari sejauh mana pekerja masih memiliki pekerjaan layak, pendapatan yang cukup, dan perlindungan sosial yang memadai.
Transisi energi adalah keniscayaan. Yang harus diperjuangkan adalah keadilan dalam prosesnya. Dan keadilan itu hanya mungkin jika pekerja ikut menentukan arah perubahan.