Purwakarta, KPonline-Penetapan upah minimum yang terlambat atau molor kembali memicu tanda tanya besar. Tahun ini serikat pekerja menuntut kenaikan antara 8–10 (atau 8,5–10,5) persen, mengacu pada kombinasi laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi; tuntutan ini disuarakan dalam aksi dan konsolidasi besar-besaran.
Di sisi lain, pemerintah pusat melalui Kementerian Ketenagakerjaan menyarankan agar para gubernur menunggu finalisasi regulasi sebelum mengumumkan UMP/UMK. Sikap yang berujung pada penundaan pengumuman di banyak daerah, dimana biasanya 21 November, putusan upah minimum untuk tahun berikutnya sudah ditetapkan.
Beberapa daerah sudah mengeluhkan bahwa penghitungan dan rapat Dewan Pengupahan berpotensi tertunda karena regulasi yang belum turun.
Sementara itu, pengumuman resmi dari pusat sebelumnya menetapkan kenaikan rata-rata 6,5 persen untuk tahun sebelumnya (2025) adalah angka yang jauh di bawah tuntutan serikat untuk tahun 2026. Ketidaksesuaian antara harapan buruh dan kebijakan ini memperbesar kecurigaan. Sebagian kalangan menilai pemerintah hanya memperpanjang proses lewat rapat-rapat formal tanpa niat menaikkan upah sesuai tuntutan rakyat pekerja.
Akibatnya, beberapa serikat sudah mengancam aksi lanjutan jika kenaikan upah tidak mendekati angka yang mereka minta; pengusaha dan asosiasi bisnis pun memperkirakan pengumuman bisa molor lebih lama karena kebutuhan penyesuaian di dunia usaha.
Singkatnya, jika kenaikan upah minimum tidak mendekati tuntutan 8 hingga 10 persen, publik berhak memandang proses penetapan upah sebagai ritual birokrasi. Rapat demi rapat yang tampak produktif, namun tak menghasilkan kenaikan yang memulihkan daya beli pekerja.
Pemerintah dan para pemangku kepentingan harus memilih. Menuntaskan formula yang adil sekarang, atau menghadapi gelombang protes yang lebih besar.