Pemilu 2029: Partai Buruh Dorong Implementasi Putusan MK 135 untuk Demokrasi Berkualitas

Pemilu 2029: Partai Buruh Dorong Implementasi Putusan MK 135 untuk Demokrasi Berkualitas

Purwakarta, KPonline – Partai Buruh menyatakan dukungan tegas terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memisahkan pemilu nasional dan daerah mulai 2029. Putusan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk memperbaiki kelemahan pemilu serentak yang membebani penyelenggara, partai politik, dan masyarakat. Dalam seminar “Redesain Sistem Pemilu Pasca Putusan MK” di Jakarta, 31 Juli 2025, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menegaskan sikap partainya dengan tagar “We Stand with MK”. Ia memperingatkan bahwa penolakan terhadap putusan MK akan memicu aksi besar-besaran dari Partai Buruh dan masyarakat sipil.

Wahyu Hidayat, Ketua Exco Partai Buruh dan sekaligus Ketua Pimpinan Cabang (PC) Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kabupaten Purwakarta menegaskan pentingnya konstitusi sebagai sumber hukum dan etika tertinggi, sebagaimana disampaikan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie.

“Indonesia adalah negara hukum. Konstitusi harus menjadi pedoman politik dan perilaku publik. Penolakan putusan MK oleh pejabat publik menunjukkan ketidakpahaman terhadap peran MK sebagai negatif legislator,” ujar Wahyu.

Ia juga mengkritik adanya indikasi manuver di DPR untuk menghambat putusan MK, yang menurutnya bertentangan dengan Pasal 1 UUD 1945. “Kata ‘adalah’ dalam pasal itu menegaskan Indonesia adalah negara hukum. Pejabat negara tidak boleh menolak amar putusan MK,” tegasnya.

Putusan MK memerintahkan pemilu nasional (presiden, DPR, DPD) digelar terpisah dari pemilu daerah (DPRD, kepala daerah) dengan jeda 2 hingga 2,5 tahun. Tujuannya adalah mengurangi beban logistik, meningkatkan partisipasi pemilih, dan memberi waktu bagi partai politik untuk kaderisasi. MK mencatat bahwa pemilu serentak 2019 menyebabkan banyak petugas pemilu meninggal dunia akibat kelelahan. Pemisahan pemilu juga memungkinkan masyarakat mengevaluasi kinerja pemerintahan nasional dan daerah secara lebih fokus.

Ketua KPU Mochammad Afifuddin menyatakan putusan ini ideal untuk tata kelola pemilu yang lebih terukur, tetapi menekankan perlunya revisi UU Pemilu. Sebaliknya, sejumlah politisi seperti Lestari Moerdijat dari Nasdem menyebut putusan ini inkonstitusional karena melanggar Pasal 22E UUD 1945. Partai Buruh menolak pandangan ini, menyebut putusan MK sebagai wujud kedaulatan rakyat. Partai Buruh juga mendukung perpanjangan masa jabatan DPRD dan pengangkatan penjabat kepala daerah sebagai solusi transisi.

Said Iqbal menegaskan bahwa pemisahan pemilu menguntungkan partai nonparlemen seperti Partai Buruh, karena memberi waktu untuk mencalonkan kandidat internal tanpa koalisi. Ia juga menolak keras wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD, yang dianggap mundur dari demokrasi langsung. “Kami akan melawan praktik Orde Baru ini dengan aksi rakyat,” ujarnya.

Partai Buruh mengajak masyarakat sipil, akademisi, dan media untuk mengawal revisi UU Pemilu agar sesuai dengan putusan MK, demi Pemilu 2029 yang lebih adil dan berkualitas.