Partisipasi Politik Kaum Muda: Antara Kooptasi Elite dan Harapan dari Akar Rumput

Partisipasi Politik Kaum Muda: Antara Kooptasi Elite dan Harapan dari Akar Rumput

Jakarta, KPonline – Dalam demokrasi prosedural, partisipasi politik kaum muda sering kali dianggap telah terjamin. Mereka bisa mencalonkan diri, ikut memilih, bahkan menduduki jabatan legislatif. Namun realitas di Indonesia menunjukkan hal yang jauh lebih kompleks dan tidak sesederhana indikator-indikator itu. Laporan Global Youth Progress Index (GYPI) 2025 menempatkan Indonesia di peringkat ke-49 dari 58 negara dalam dimensi partisipasi politik kaum muda. Skor Indonesia yang hanya 0.359 dari skala 1, jauh di bawah rata-rata global, menunjukkan keterlibatan politik kaum muda masih lebih banyak bersifat simbolik dan terbatas pada kerangka formalitas yang prosedural, bukan transformasional.

Indeks GYPI mengukur lima indikator utama: representasi kaum muda dalam parlemen; kebijakan yang mendukung partisipasi pemuda; kebebasan berserikat; akses terhadap pemilu; dan representasi dalam lembaga pengambilan keputusan. Dari kelima indikator tersebut, Indonesia hanya mendapatkan nilai di atas rata-rata pada akses pemilu, tetapi mendapatkan skor rendah untuk representasi dalam parlemen, kebijakan inklusif, dan kebebasan berserikat.

Di atas kertas, memang ada sejumlah politisi muda yang kini duduk di parlemen. Namun pertanyaan pentingnya adalah: siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan nilai siapa yang mereka wakili? Dalam banyak kasus, mereka adalah bagian dari dinasti politik, keluarga elite, atau jaringan patronase partai besar. Ketika representasi kaum muda hadir, tetapi berasal dari kelas yang sama dengan elite mapan, maka ruang demokrasi hanya direproduksi untuk melanggengkan kekuasaan, bukan untuk mentransformasikannya.

Situasi ini diperburuk oleh fenomena kooptasi terhadap gerakan sosial. Banyak eks-aktivis mahasiswa dan tokoh muda dari organisasi masyarakat sipil yang sebelumnya bersuara kritis kini justru menjadi bagian dari kekuasaan yang mereka lawan. Beberapa di antaranya menerima jabatan, menjadi staf khusus, atau bergabung dalam partai politik besar tanpa membawa agenda struktural yang pernah mereka perjuangkan. Ini menggambarkan bagaimana kekuasaan tidak hanya membungkam dengan represi, tetapi juga dengan kooptasi halus yang mengubah idealisme menjadi diplomasi.

Kooptasi ini juga terjadi melalui penyusunan program “partisipasi pemuda” yang dikelola oleh elite politik maupun lembaga swadaya dan kelompok donornya dengan agendanya masing-masing. Banyak komunitas kaum muda non-elit diundang untuk terlibat dalam forum-forum resmi, konsultasi kebijakan, atau program kepemudaan berbasis proyek. Namun dalam banyak kasus, ruang partisipasi tersebut tidak memberi kaum muda kuasa dan wewenang untuk berkreasi dan berekspresi secara otentik. Yang sering terjadi adalah disediakannya kursi tanpa suara bagi kaum muda non-elit untuk duduk manis, alih-alih mengorganisir diri untuk bersuara demi aspirasi rakyat banyak.

Dalam konteks seperti inilah, bentuk-bentuk partisipasi politik dari bawah akar rumput (grassroots) menjadi sangat relevan dan penting untuk diperhatikan. Salah satu contohnya adalah Suara Muda Kelas Pekerja (SMKP), sebuah ruang kolektif dalam tubuh Partai Buruh yang dibentuk untuk menampung aspirasi, inisiatif, dan kepemimpinan politik kaum muda dari kalangan kelas pekerja. Dalam penelitian saya, SMKP bukanlah sekadar sayap pemuda partai. Ia adalah organ politik yang otonom, memiliki ruang pengambilan keputusan sendiri, merumuskan kampanye, dan secara aktif membangun basis politik di kalangan pekerja muda, termasuk buruh pabrik, pekerja logistik, guru honorer, dan sektor informal lainnya.

Berdasarkan waktu yang saya habiskan di SMKP sebagai kader dan peneliti, SMKP bukanlah sekedar hiasan partai. SMKP ada untuk menghadirkan suara kelas pekerja muda secara substantif dalam politik elektoral dan non-elektoral. SMKP menyusun agenda berdasarkan pengalaman struktural sebagai bagian dari kelompok yang seringkali dieksklusi dalam arus politik mainstream. Ini menjadi penting karena dalam banyak partai politik lain, kaum muda hanya diberi peran simbolik, didorong tampil saat kampanye, tapi tidak pernah ikut menentukan arah kebijakan atau keputusan strategis partai.

Lebih menarik lagi, dalam struktur SMKP, kaum muda tidak hanya dilibatkan untuk “ikut” dalam kegiatan politik, tetapi diberi ruang untuk mengkritik dan menantang arah partai jika melenceng dari garis perjuangan kelas. Hal ini sangat jarang ditemui dalam konteks politik Indonesia, di mana loyalitas sering kali lebih dihargai daripada integritas. SMKP menunjukkan bahwa pelembagaan partisipasi politik kaum muda dari kalangan marjinal bisa dilakukan, asalkan ada keberanian politik dan komitmen terhadap demokrasi yang sejati.

Namun ruang seperti SMKP tidak masuk dalam perhitungan indeks seperti GYPI. Memang, mungkin tidak bisa dimasukkan. GYPI dan indeks lainnya masih berorientasi pada indikator-indikator formal, seperti keterwakilan dalam parlemen, kebijakan afirmatif, dan partisipasi dalam pemilu. Padahal, bentuk-bentuk partisipasi politik yang paling otentik justru tumbuh di luar kerangka formal tersebut, dari komunitas, kolektif, dan organisasi akar rumput yang membangun politik sebagai alat pembebasan, bukan hanya alat representasi.

Di sinilah kita perlu memperluas pemahaman tentang demokrasi. Demokrasi bukan sekadar prosedur pemilu lima tahunan atau jumlah wakil muda di kursi legislatif. Demokrasi berkaitan dengan siapa yang memiliki kuasa untuk menentukan hidupnya sendiri, siapa yang bisa menyuarakan kepentingannya tanpa harus tunduk pada logika elite. Jika demokrasi ingin hidup dan bertahan, maka ia harus memberi tempat pada suara kaum muda dari kelas pekerja, dari komunitas adat, dari kampung dan desa, dari lorong pabrik dan jalanan kota. Hal ini tidak cukup hanya lewat indeks, tapi lewat perubahan politik struktural.

Dalam situasi di mana politik elite semakin tertutup dan gerakan sosial semakin dijinakkan, ruang-ruang seperti SMKP memberi kita harapan. Harapan bahwa kaum muda tidak harus menunggu diundang untuk berpolitik. Mereka bisa menciptakan ruangnya sendiri, menulis narasinya sendiri, dan menentukan jalannya sendiri. Inilah bentuk partisipasi politik yang sejati: lebih dari sekedar meramaikan ‘pesta demokrasi’, tapi juga memperjuangkan ruang-ruang di dalamnya agar partisipasi pemuda di politik senafas dengan masa depan cita-cita bangsa.