Jakarta, KPonline – Said Salahudin selaku kuasa hukum Partai Buruh (Pemohon) dalam persidangan mengatakan isu konstitusional yang dipersoalkan dalam permohonan tersebut mengenai ketentuan ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilu untuk diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi di DPR atau yang dikenal dengan istilah ambang batas parlemen (parliamentary threshold). “Pemohon menyadari bahwa aturan ambang batas parlemen masih dinilai konstitusional dan dinyatakan MK sebagai kewenangan dari pembentuk undang-undang atau open legal policy,” ujarnya.
Namun Pemohon mengacu pada putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang pernah membuka ruang pengujian ulang dan bahkan membatalkan norma yang sebelumnya ditetapkan MK sebagai kebijakan hukum terbuka yaitu terkait dengan aturan presidential threshold. Menurut Pemohon, pendirian MK dapat berubah dengan merujuk pada Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 juncto Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023, yang menegaskan bahwa MK memiliki kewenangan untuk meninjau kembali materi atau substansi undang-undang, termasuk yang sebelumnya telah dinyatakan konstitusional, sepanjang terbukti bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan prinsip rasionalitas.
Oleh karena itu, Pemohon berpendapat bahwa ketentuan ambang batas parlemen, yang sebelumnya dinilai sebagai open legal policy oleh MK, dapat diberi penafsiran baru sebagaimana halnya presidential threshold—yakni tidak lagi bersifat absolut sebagai kebijakan hukum terbuka—apabila bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan prinsip rasionalitas.
Dalam permohonannya, Pemohon memaparkan bahwa berdasarkan data perolehan suara partai politik untuk DPR RI pada Pemilu 2024, terdapat 17.304.303 suara atau 11,3 persen suara pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi. Jumlah ini mencerminkan pemborosan suara (wasted votes) dalam skala besar yang secara langsung mengakibatkan hilangnya keterwakilan politik warga di sejumlah wilayah. Menurut Pemohon, fakta ini menguatkan dalil bahwa ambang batas parlemen tidak hanya merugikan partai kecil, tetapi juga mengingkari pilihan politik kolektif masyarakat daerah yang telah memberikan dukungan signifikan secara regional.
Pemohon menegaskan, salah satu tujuan utama sistem demokrasi dan pemilu adalah memastikan keterwakilan yang adil. Namun, ketentuan ambang batas nasional justru membuat suara rakyat yang sah tidak menghasilkan wakil di parlemen. Hal ini, menurut Pemohon, melanggar asas demokrasi representatif, menimbulkan parlemen yang homogen, dan mendistorsi hasil pemilu dari bentuk aslinya.
Aturan ambang batas juga dianggap bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan asas keadilan pemilu (electoral justice). Akibatnya, hanya partai yang melampaui ambang batas yang berhak dihitung dalam penentuan kursi DPR dan membentuk fraksi. Sementara suara partai di bawah ambang batas diabaikan. Pemohon menilai kondisi ini membuat mandat rakyat yang disalurkan melalui partai politik menjadi sia-sia.
Sumber: mkri.id