Nilai Alfa dalam PP Pengupahan Baru, Kembali Membuka Ruang Ketidakadilan

Nilai Alfa dalam PP Pengupahan Baru, Kembali Membuka Ruang Ketidakadilan

Jakarta, KPonline-Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan yang baru diteken Presiden Prabowo Subianto seolah ingin menampilkan wajah rasional negara. Upah ditentukan oleh inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan satu variabel kecil bernama alfa. Namun karena variable kecil itulah keberpihakan negara diuji. Sebab di balik koefisien itu, ada jutaan buruh yang hidupnya ditentukan setiap akhir tahun.

Negara mungkin menyebut alfa sebagai instrumen teknis. Namun, bagi buruh, alfa adalah bahasa politik. Ia menjawab satu pertanyaan mendasar yakni seberapa besar negara berani mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi lahir dari keringat rakyat pekerja? Jika jawabannya setengah hati, maka nilainya pun akan ditekan serendah mungkin. Dan sejarah pengupahan di negeri ini kembali mencatat, ruang kompromi hampir selalu dimenangkan oleh kepentingan modal.

Rentang alfa 0,5 hingga 0,9 adalah problem itu sendiri. Ia memberi ilusi keadilan, padahal membuka peluang besar menuju ketidakadilan. Dalam praktiknya, daerah dan pengusaha akan berlindung pada angka terendah atas nama iklim investasi. Sementara buruh kembali diminta memahami keadaan, bersabar, dan berhemat, seolah hidup layak adalah kemewahan, bukan hak konstitusional.

Berikut contoh konkret, yang menunjukkan betapa jauh dampak Alfa 0,5 – 0,9 bagi buruh di satu daerah yang sama.

Penetapan UMP di Provinsi X misalnya. Data dasar (hipotetis namun realistis):

UMP tahun berjalan: Rp4.000.000

– Inflasi tahunan: 3%

– Pertumbuhan ekonomi daerah: 5%

– Rumus PP Pengupahan: Kenaikan Upah = Inflasi + (Pertumbuhan Ekonomi × Alfa)

• Skenario pertama: Pemerintah Daerah Memilih Alfa 0,5 (dengan alasan menjaga iklim investasi)

– Inflasi: 3%

– Pertumbuhan ekonomi × Alfa: 5% × 0,5 = 2,5%

* Total kenaikan upah: 5,5%.

– Kenaikan nominal: 5,5% × Rp4.000.000 = Rp220.000

– UMP baru: Rp4.220.000.

• Skenario 2: Pemerintah Daerah Menggunakan Alfa 0,9 (sebagaimana tuntutan serikat pekerja)

– Inflasi: 3%

– Pertumbuhan ekonomi × Alfa: 5% × 0,9 = 4,5%

*Total kenaikan upah: 7,5%

– Kenaikan nominal: 7,5% × Rp4.000.000 = Rp300.000

– UMP baru: Rp4.300.000

Dari skenario contoh kenaikan upah tersebut, telah terjadi Selisih kenaikan per bulan sebesar Rp80.000. Sedangkan selisih pertahunnya sebesar Rp960.000

Inilah mengapa buruh menolak anggapan bahwa perbedaan alfa hanyalah soal teknis dan memandang tegas bahwa nilai alfa seharusnya dipatok minimal 0,9. Bukan sebagai sikap emosional, melainkan sebagai koreksi atas ketimpangan lama.

“Jika inflasi hanya menjaga buruh agar tidak semakin jatuh, maka pertumbuhan ekonomi adalah hak buruh untuk ikut naik. Menurunkan alfa berarti memutus hubungan logis antara kerja dan hasilnya”.

Masalahnya, PP Pengupahan masih memosisikan upah sebagai variabel biaya, bukan sebagai instrumen distribusi keadilan. Negara sibuk menjaga stabilitas angka makro, tetapi abai pada kenyataan mikro. Harga beras tak menunggu keputusan gubernur, begitupun biaya kebutuhan hidup lainnya yang tak tunduk pada rumus, dan sekolah anak buruh tak mengenal kata fleksibilitas.

Kini, setelah PP ditandatangani. Jika pemerintah membiarkan alfa ditarik ke titik terendah, maka PP Pengupahan akan dikenang sebagai regulasi yang sah secara hukum, namun timpang secara moral. Dan di situlah, PP Pengupahan berubah dari janji menjadi pengingkaran.