MK Gelar Sidang Uji Materi Soal Ambang Batas Parlemen, Partai Buruh Ajukan Perbaikan Permohonan

MK Gelar Sidang Uji Materi Soal Ambang Batas Parlemen, Partai Buruh Ajukan Perbaikan Permohonan

Jakarta, KPonline – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sidang dengan nomor perkara 131/PUU-XXIII/2025 ini berlangsung pada Selasa (26/8/2025) di ruang sidang MK dengan agenda mendengarkan pokok perbaikan permohonan.

Permohonan ini diajukan Partai Buruh. Beberapa pasal yang dipersoalkan antara lain Pasal 414 ayat (1) sebagaimana dimaknai dalam Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023, Pasal 415 ayat (1) dan (2) UU Pemilu, serta Pasal 82 ayat (3) UU MD3.

Bacaan Lainnya

Kuasa hukum Partai Buruh, Said Salahudin, menegaskan bahwa perbaikan permohonan difokuskan pada aspek legal standing. Ia menjelaskan, uraian kedudukan hukum Pemohon kini dituangkan dalam 15 halaman permohonan, tanpa mengubah uraian mengenai kewenangan MK.

“Perbaikan lebih banyak menyangkut pemenuhan lima syarat kerugian konstitusional sebagaimana pernah ditegaskan dalam sejumlah putusan MK sebelumnya,” jelas Said.

Dalam argumentasinya, Partai Buruh menekankan bahwa sebagai partai politik baru, mereka memiliki potensi meraih suara lebih besar pada Pemilu 2029. Optimisme ini didasarkan pada hasil Pemilu 2024, di mana Partai Buruh berhasil mencatat perolehan suara signifikan, bahkan melampaui sebagian partai lama maupun baru di beberapa daerah. Untuk memperkuat klaim tersebut, Pemohon menyertakan 17 tabel data dalam berkas permohonan.

Isu utama yang digugat adalah ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu mewajibkan partai politik peserta Pemilu meraih minimal 4% suara sah nasional untuk bisa mengirim wakilnya ke DPR. Norma ini sebelumnya telah dimaknai MK melalui Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, yang menyatakan ambang batas tetap berlaku pada Pemilu 2024, namun bersifat konstitusional bersyarat untuk Pemilu 2029 dan seterusnya.

Said menuturkan, meskipun MK menilai ambang batas parlemen sebagai ranah kebijakan hukum terbuka (open legal policy), Pemohon tetap melihat adanya celah untuk diuji kembali. Sebab, MK sendiri pernah mengubah pendiriannya terhadap aturan presidential threshold melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024. Dengan merujuk pada putusan-putusan sebelumnya, Pemohon menilai MK juga berwenang meninjau kembali ambang batas parlemen jika terbukti bertentangan dengan hak politik warga, kedaulatan rakyat, maupun prinsip rasionalitas.

Partai Buruh berpendapat, pembatasan representasi hanya berdasarkan angka ambang batas nasional telah menimbulkan ketidakadilan. Suara pemilih yang nyata justru terbuang, pluralisme politik tergerus, dan regenerasi di parlemen terhambat. Dalam sistem proporsional, seharusnya setiap suara dihitung agar sebanding dengan kursi yang diperoleh, bukan dibuang seperti dalam sistem mayoritarian.

Karena itu, Pemohon menilai penerapan ambang batas akan lebih adil bila dihitung per daerah pemilihan (dapil), bukan secara nasional.

Dalam petitumnya, Partai Buruh meminta MK membatalkan ketentuan ambang batas parlemen yang berlaku secara nasional. Namun, jika MK menilai aturan tersebut tetap diperlukan, mereka mengusulkan alternatif berupa penerapan ambang batas berbasis dapil.

Pos terkait