Misteri Pengumuman Upah Minimum 2026: Putusan MK atau Manuver Elit?

Misteri Pengumuman Upah Minimum 2026: Putusan MK atau Manuver Elit?

Jakarta, KPonline-Pemerintah tiba-tiba menunda pengumuman Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang semestinya diumumkan paling lambat 21 November. Kekecewaan pun tak terelakkan bagi buruh yang sudah menunggu nilai upah mereka untuk tahun 2026.

Dua narasi bersaing yakni ini akibat teknis hukum pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atau ini permainan kepentingan elit yang menunda kenaikan layak demi logika politik dan ekonomi tertentu. Mana yang benar? Fakta di lapangan menunjukkan keduanya bermain peran, tetapi urgensi utama tetap: pekerja menunggu jawaban konkret, bukan sandiwara politik.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan penundaan karena harus menyesuaikan perhitungan dan aturan turunan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023. Menaker Yassierli menyebut formula pengupahan masih digodok dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai landasan baru perlu dirampungkan sebelum pengumuman UMP. Institusi pemerintah berargumen: aturan lama tak lagi cukup; perlu PP baru agar penetapan UMP konsisten dengan putusan MK.

Beberapa analis hukum dan praktisi ketenagakerjaan pun menegaskan pula bahwa putusan MK memang membuka ruang perubahan besar: kewajiban memperhatikan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), keterlibatan serikat pekerja dalam negosiasi upah, hingga perombakan tata-aturan pengupahan. Itu artinya secara teknis pemerintah harus menghitung ulang komponen-komponen pengupahan dan menyusun aturan turunan sebelum mengeksekusi angka UMP secara nasional.

Di pihak buruh, FSPMI-KSPI, Partai Buruh, dan konfederasi lain menilai penundaan jangan sampai jadi alat untuk menahan angka agar tetap murah. Mereka menuntut formula yang mengedepankan KHL dan menolak indeks tertentu yang terlalu kecil (0,2–0,7) yang, menurut buruh, akan menghasilkan kenaikan simbolis yang jauh dari kebutuhan riil. Ancaman mogok nasional pernah dilontarkan jika pemerintah memaksakan angka yang dianggap merugikan.

Ada pula klaim bahwa Kemnaker melawan arah kebijakan yang diharapkan oleh buruh atau bahkan presiden (sebagaimana dikutip KSPI dalam beberapa pernyataan publik), yang menimbulkan spekulasi: apakah penundaan ini murni teknis, atau ada tarik-menarik kepentingan antara kementerian, pengusaha (Apindo), dan kepentingan politik yang lebih tinggi? Beberapa pihak menyebut adanya ketidakcocokan antara kalkulasi pemerintah dengan tuntutan buruh yang lebih tinggi dan perselisihan ini yang kemudian membuat pengumuman ditunda.

Fakta paling penting, singkat dan berdasar:
• Kemnaker resmi menunda pengumuman UMP 2026 dan menyatakan perlu RPP baru yang menindaklanjuti putusan MK.

• Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 memang berdampak pada pengupahan, mendorong penekanan KHL dan peran serikat pekerja, sehingga membutuhkan penyesuaian aturan turunan.

• Serikat pekerja menuduh kemungkinan politisasi atau kepentingan yang menahan kenaikan layak; mereka menuntut transparansi dan angka yang mencerminkan KHL. Ancaman aksi besar tetap ada jika hasilnya mengecewakan.

Jadi siapa yang paling bertanggung jawab?. Kalau mau jujur, kedua faktor berperan. Secara formal dan legal, putusan MK memaksa revisi mekanisme pengupahan itu bukan kedok, melainkan ada kebutuhan nyata untuk menghitung ulang KHL dan memperbaiki kelembagaan pengupahan. Namun secara politik, penundaan memberi ruang bagi aktor-aktor (pemerintah, pengusaha, kelompok kepentingan) untuk merebut narasi dan memengaruhi angka akhir. Ketidaksesuaian antara tuntutan buruh (mis. indeks 0,9–1,4 atau kenaikan 6,5–10,5%) dengan usulan pemerintah (indeks 0,2–0,7) memperlihatkan bahwa keputusan akhir bukan hanya matematis tapi juga politik.

Dampak nyata di lapangan

Kebingungan dan kecemasan buruh: jadwal aksi, ancaman mogok, dan ketidakpastian pendapatan Januari 2026. Ini berpotensi mengganggu produksi dan mengerek tensi sosial.

Negosiasi ulang di Dewan Pengupahan: Pemda, serikat, dan pengusaha harus kembali menghitung KHL dan indeks provinsi itu memerlukan waktu dan data yang bisa menunda kepastian bagi pekerja.

Ruang bagi intervensi politik/elit: ketika aturan teknis belum final, kebijakan bisa dimanipulasi untuk menyeimbangkan kepentingan investasi, stabilitas ekonomi, dan kepentingan politik jangka pendek. Itu yang dikhawatirkan serikat. (Catatan: kekhawatiran ini didasarkan pada pernyataan dan narasi aktor sosial, bukan bukti konspirasi konkret).

Pemerintah wajib menunjukkan dua hal sekarang juga. Pertama, transparansi penuh atas metode penghitungan KHL dan parameter indeks yang digunakan. Kedua, waktu yang jelas dan proses partisipatif di Dewan Pengupahan agar serikat, pengusaha, dan publik dapat mengawasi. Jika tidak dan angka diumumkan tiba-tiba tanpa legitimasi, potensi konflik sosial dan aksi besar tetap terpendam, bukan punah.