Setiap tahun, tepatnya pada 17 Agustus, bangsa Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan. Dimana, Jalan-jalan dihiasi merah putih, masyarakat bergembira dalam lomba-lomba rakyat, dan pidato pejabat dipenuhi kata-kata heroik tentang arti merdeka. Namun, di balik gegap gempita itu, ada pertanyaan besar yang sering luput dijawab. Apakah rakyat pekerja sudah benar-benar merdeka?
Bagi buruh, kemerdekaan bukan hanya tentang bebas dari penjajahan fisik, melainkan juga bebas dari penindasan ekonomi. Merdeka itu berarti terbebas dari sistem kerja yang tidak manusiawi, seperti outsourcing yang menjadikan buruh tidak pernah memiliki kepastian hidup. Merdeka itu berarti terbebas dari upah murah yang memaksa pekerja dan keluarganya hidup dalam garis batas kemiskinan.
Outsourcing yang awalnya digadang-gadang sebagai solusi efisiensi perusahaan, dalam praktiknya justru menjadi bentuk penjajahan baru bagi buruh. Status kerja yang terus diperpanjang tanpa kepastian, ketidakjelasan hak atas pesangon, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak adalah kenyataan pahit yang dialami jutaan buruh di Indonesia.
Bagaimana mungkin seorang pekerja disebut merdeka jika setiap tahun ia dihantui ketakutan, apakah kontraknya akan diperpanjang atau tidak? Bagaimana mungkin seorang buruh bisa merencanakan masa depan keluarga jika status kerjanya hanya sementara, tanpa kepastian jaminan sosial, tanpa kepastian karier, bahkan tanpa kepastian hidup?
Outsourcing adalah bentuk penghilangan hak-hak dasar pekerja. Ia menempatkan buruh sebagai komoditas sekali pakai, habis masa kontrak, habis pula nasibnya. Inilah yang membuat buruh menuntut untuk merdeka dari outsourcing berarti merdeka dari ketidakpastian hidup.
Selain outsourcing, masalah upah murah menjadi luka mendalam bagi buruh Indonesia. Upah minimum yang seharusnya menjadi jaring pengaman sosial justru sering ditetapkan tanpa keberpihakan pada pekerja. Formula pengupahan dalam kebijakan selama ini ternyata hanya berpihak pada kepentingan investor ketimbang kesejahteraan buruh.
Akibatnya, buruh dengan kerja keras 8–12 jam sehari masih sulit memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Mereka harus memilih antara membayar biaya sekolah anak atau membeli lauk bergizi di meja makan. Mereka harus berutang demi biaya kesehatan, karena gaji tak cukup untuk menutup pengeluaran bulanan.
Apakah ini yang disebut merdeka? Jika rakyat pekerja harus terus berkorban demi “iklim investasi”, maka jelas bahwa kemerdekaan ekonomi mereka masih jauh panggang dari api.
Merdeka bukan sekadar slogan. Merdeka adalah hak untuk hidup layak. Merdeka adalah hak untuk bekerja dengan kepastian status, kepastian upah, dan kepastian masa depan.
Buruh menolak disebut sekadar faktor produksi. Buruh adalah manusia, yang memiliki keluarga, mimpi, dan hak untuk sejahtera. Maka, merdeka bagi buruh adalah:
1. Merdeka dari outsourcing.
Bebas dari sistem kerja kontrak tanpa kepastian.
2. Merdeka dari upah murah.
Bebas dari ketidakadilan dalam sistem pengupahan.
Kemerdekaan bangsa ini tidak pernah diberikan, melainkan diperjuangkan dengan darah dan air mata para pendahulu. Demikian pula kemerdekaan buruh tidak akan datang dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan melalui serikat pekerja, melalui aksi kolektif, melalui konsistensi menolak segala bentuk penindasan.
Maka, saat bangsa ini kembali merayakan kemerdekaan, mari kita renungkan: kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari penjajahan asing, tetapi juga terbebas dari sistem kerja yang menindas. Merdeka itu merdeka dari outsourcing. Merdeka itu merdeka dari upah murah.