Menyisir Angka 8,5 hingga 10,5%: Tuntutan Kenaikan Upah 2026 yang Disuarakan Serikat Pekerja

Menyisir Angka 8,5 hingga 10,5%: Tuntutan Kenaikan Upah 2026 yang Disuarakan Serikat Pekerja

Jakarta, KPonline – Di penghujung tahun 2025, wacana kenaikan upah 2026 mulai mengemuka. Angka 8,5 hingga 10,5 persen yang didorong oleh serikat pekerja menjadi titik diskusi hangat, baik itu dikalangan buruh maupun pengusaha dan pemerintah. Bagi kalangan buruh, angka ini bukan sekadar kalkulasi ekonomi, tetapi refleksi atas kebutuhan hidup riil yang kian melambung dari tahun ke tahun.

Disisi lain, bagi pengusaha, kenaikan sebesar itu dianggap membebani arus kas perusahaan. Pemerintah pun berada dalam posisi dilematis, dimana harus mengakomodasi aspirasi buruh tanpa mengganggu stabilitas investasi, sekaligus menjaga keseimbangan pasar tenaga kerja.

Perlu diketahui, Serikat pekerja menuntut kenaikan upah dengan angka tersebut berangkat dari fakta sederhana namun penting, yakni biaya hidup buruh yang terus meningkat. Mulai dari inflasi pangan, pendidikan, transportasi, hingga kebutuhan dasar lain tidak bisa diabaikan. Sebuah simulasi sederhana menunjukkan bahwa sebuah keluarga buruh dengan dua anak usia sekolah membutuhkan pengeluaran minimal Rp7–8 juta per bulan di kota-kota besar. Bandingkan dengan rata-rata upah yang masih berkisar Rp4,5–5,5 juta, jurangnya amat lebar.

Untuk itu, usulan kenaikan 8,5 hingga 10,5 persen dipandang sebagai jalan tengah yang realistis. Angka itu bukan sekadar tuntutan emosional, melainkan hasil perhitungan kebutuhan riil dan proyeksi inflasi tahun mendatang.

Sedangkan disisi lain bila diuraikan, bagi pengusaha, setiap kenaikan upah dipandang sebagai tambahan biaya produksi yang berdampak pada daya saing. Terutama di sektor garmen, tekstil, dan manufaktur padat karya yang banyak bergantung pada ekspor. Mereka khawatir margin keuntungan akan terkikis. Namun dibalik itu semua, sering terlupakan fakta bahwa upah buruh di Indonesia masih relatif rendah bila dibandingkan negara pesaing di kawasan Asia Tenggara.

Argumen klasik “investor kabur jika upah naik” perlu ditimbang ulang. Realitas menunjukkan, faktor stabilitas politik, kemudahan perizinan, dan infrastruktur juga sangat menentukan minat investor. Artinya, kenaikan upah yang wajar tidak serta-merta menjadi penghalang investasi.

Alhasil, Pemerintah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, mereka dituntut menjaga daya beli masyarakat. Dan di sisi lain, mereka harus memastikan iklim investasi tetap kondusif. Celah inilah yang kerap memunculkan formula kompromi berupa kenaikan setengah hati. Akibatnya, buruh selalu menjadi korban ketidakadilan dan merasa dikecewakan, sementara pengusaha tetap mengeluhkan beban.

Padahal, jika dilihat lebih jernih, kenaikan upah sesungguhnya berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan daya beli yang lebih baik, konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia akan ikut terdongkrak.

Perlu di garis bawahi, opini publik sering terjebak melihat upah hanya sebagai komponen biaya produksi. Padahal, upah adalah hak dasar pekerja untuk hidup layak. Konstitusi dan undang-undang ketenagakerjaan menegaskan prinsip itu. Karena itu, diskursus tentang kenaikan upah seharusnya tidak melulu dipersempit dalam kerangka untung rugi perusahaan.

Kenaikan upah juga berimplikasi sosial, yaitu mengurangi potensi ketimpangan, menekan angka kemiskinan, serta memperkuat stabilitas sosial. Buruh yang sejahtera akan lebih produktif, loyal, dan menjadi bagian penting dalam menjaga keberlanjutan industri.

Jika disisir lebih teliti, rentang 8,5 hingga 10,5 persen adalah usulan moderat. Ia tidak melompat terlalu tinggi hingga menimbulkan guncangan, tetapi cukup signifikan untuk memberi napas lega bagi buruh. Angka itu juga dapat menjadi ruang kompromi: pengusaha bisa mendorong efisiensi dan inovasi, sementara buruh mendapatkan kepastian peningkatan daya beli.

Karena itu, Pemerintah dalam hal ini, harus berani mengambil posisi tegas. Tidak sekadar menjadi penengah yang mencari aman, melainkan pengambil keputusan yang berpihak pada keadilan sosial.

Kenaikan upah bukan semata urusan angka, melainkan tentang masa depan kelas pekerja. Menyisir tuntutan 8,5 hingga 10,5 persen berarti menimbang kebutuhan riil masyarakat pekerja, keseimbangan ekonomi nasional, serta arah pembangunan yang lebih adil.

Jika pemerintah dan pengusaha melihat buruh bukan sekadar sebagai faktor produksi, melainkan manusia dengan hak atas kehidupan layak, maka tuntutan ini seharusnya dipandang wajar dan perlu. Karena kesejahteraan buruh pada akhirnya bukan hanya untuk buruh itu sendiri, melainkan juga untuk keberlangsungan ekonomi bangsa.