Menyeimbangkan Dua Dunia, Bagi Waktu sebagai Pekerja dan Anggota Serikat Pekerja

Menyeimbangkan Dua Dunia, Bagi Waktu sebagai Pekerja dan Anggota Serikat Pekerja
Foto: Ilustrasi

Gempuran target produksi, tekanan deadline, dan tanggung jawab keluarga, menjadi pekerja saja sudah cukup menyita energi dan waktu. Namun, di balik itu, masih ada sebagian dari kita yang memilih untuk tidak hanya menjadi buruh upahan biasa, tapi juga berdiri sebagai anggota bahkan pengurus Serikat Pekerja. Disinilah tantangan sesungguhnya bermula, dimana membagi waktu antara kewajiban profesional dan tanggung jawab perjuangan kolektif.

Tidak mudah memang. Tapi siapa bilang perubahan besar lahir dari kenyamanan?

Menjadi anggota Serikat Pekerja bukan sekadar hadir dalam rapat atau menyuarakan aspirasi saat aksi. Ini tentang memperjuangkan keadilan, memastikan hak-hak dasar pekerja dihormati, dan menciptakan ruang yang lebih layak untuk seluruh rekan seprofesi. Maka, ketika seseorang memilih aktif di Serikat, artinya ia sedang memikul beban dua kali lipat dari rekan kerja lainnya, tapi juga berpeluang memberi dua kali lipat perubahan.

Namun, pertanyaannya adalah bagaimana cara membagi waktu agar keduanya tidak saling mengorbankan?

Kunci utama adalah disiplin dan kemampuan menentukan skala prioritas. Jadwal kerja yang padat harus dilengkapi dengan perencanaan waktu yang matang. Agenda Serikat pun harus terorganisir secara efektif. Waktu rapat, aksi, advokasi, hingga pendampingan anggota harus disesuaikan dengan ritme kerja harian. Tidak jarang, pengurus Serikat harus begadang demi menyusun draft Perjanjian Kerja Bersama (PKB) setelah seharian bekerja penuh di pabrik atau kantor.

Mereka tidak dibayar lebih untuk itu. Tapi mereka sadar bahwa perjuangan ini untuk semua, bukan untuk pribadi.

Ironisnya, kadang tantangan datang bukan hanya dari luar, tapi juga dari dalam. Tak sedikit atasan yang memandang miring aktivitas Serikat, menyebutnya sebagai pengganggu produktivitas. Di sisi lain, ada pula sesama anggota Serikat yang kurang paham bahwa para pengurus juga tetap pekerja yang punya target, tekanan, dan waktu terbatas.

Bagi waktu bukan hanya urusan teknis, tapi juga persoalan mental, bagaimana tetap kuat saat kedua sisi menuntut totalitas yang sama.

Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk menyadari bahwa keberadaan Serikat bukanlah ancaman, melainkan mitra dalam menciptakan lingkungan kerja yang adil dan harmonis. Memberi ruang dan waktu yang cukup bagi aktivitas Serikat adalah bagian dari investasi terhadap stabilitas hubungan industrial.

Demikian pula bagi sesama pekerja, mereka perlu menyadari bahwa para aktivis serikat bukan superman. Mereka butuh dukungan, pengertian, bahkan rotasi peran agar tidak kelelahan secara fisik dan emosional. Kolaborasi dan gotong royong adalah fondasi utama gerakan buruh yang kuat dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, kita harus kembali ke pertanyaan paling mendasar mengapa kita meluangkan waktu untuk Serikat, padahal sudah lelah bekerja?

Jawabannya sederhana yaitu karena kita peduli. Karena kita ingin masa depan kerja yang lebih adil, upah yang layak, perlindungan dari pemutusan hubungan kerja sepihak, dan lingkungan kerja yang sehat secara fisik maupun psikologis.

Mereka yang membagi waktu antara bekerja dan berjuang di serikat adalah mereka yang menolak pasrah. Mereka percaya bahwa perubahan tidak datang dari keluhan, tapi dari keterlibatan aktif.

Singkatnya, bagi waktu sebagai pekerja dan anggota serikat memang bukan perkara mudah. Tapi ini adalah pilihan sadar untuk tidak hanya menjadi roda dalam sistem, melainkan menjadi tangan yang memperbaiki arah putaran roda itu. Karena jika bukan kita yang menjaga dan memperjuangkan hak-hak kita, siapa lagi?