Purwakarta, KPonline-Aroma perlawanan kembali menguat. Menjelang aksi besar di Mahkamah Agung (MA) Jakarta dan rapat Dewan Pengupahan Kabupaten (Depekab) Purwakarta yang digelar secara bersamaan besok, (18/11). Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Purwakarta mengunci barisan dengan menggelar rapat koordinasi strategis di kantor Konsulat Cabang FSPMI Purwakarta, Senin, 17 November 2025.
Dalam rapat tersebut, Wahyu Hidayat, Ketua Pimpinan Cabang (PC) Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK) FSPMI Purwakarta, mengeluarkan pernyataan tegas yang menggambarkan situasi nyata di lapangan. Kebingungan regulasi, perusahaan yang ogah berunding, serta ancaman nyata turunnya daya beli buruh.
“Tadi kita bahas dua hal: Rapat Depekab dan aksi MA besok,” pungkas Wahyu.
Ia menegaskan bahwa FSPMI Purwakarta akan menyampaikan masukan resmi dalam rapat Depekab, meskipun seluruh daerah sebenarnya sedang menunggu aturan teknis final dari pemerintah pusat. Namun bagi FSPMI, sikap tidak bisa menunggu lagi.
Kemudian, prihal aksi buruh di MA, Wahyu mengungkapkan bahwa besok kita kirim massa puluhan orang ke MA, sekitar 80 sampai 100 orang.
Langkah ini diambil sebagai bentuk tekanan moral agar MA menolak kasasi yang diajukan PT. Yamaha Music Manufacturing Asia setelah kalah di Pengadilan Hubungan Industrial, Bandung.
Kembali lagi ke hal upah, Wahyu menyoroti persoalan serius yang belakangan membuat hubungan industrial di beberapa perusahaan keruh dan penuh kecurigaan.
FSPMI menilai bahwa SK Gubernur terkait upah 2026 harus dirumuskan dengan sangat jelas, tanpa celah multi-tafsir.
Ia mencontohkan: UMSK Purwakarta tahun 2020 sudah berada di atas hasil pengupahan versi keputusan presiden yang menetapkan kenaikan 6,5% untuk 2025. Akibatnya, di sejumlah perusahaan muncul perdebatan.
“Yang sudah diberikan tidak boleh dikurangi, tetapi karyawan baru belum merasakan kenaikan tersebut. Dan disitulah mispersepsi antar kepentingan mulai muncul,” ujar Wahyu.
“Kalau SK-nya tidak jelas, perusahaan akan mengelak, buruh yang dirugikan,” tegas Wahyu.
Dalam nada yang lebih keras, Wahyu mengingatkan pemerintah untuk tidak menutup mata terhadap persoalan pengupahan yang telah mengganggu stabilitas hubungan industrial di Purwakarta.
“Poinnya, kami berharap pemerintah jangan meninggalkan masalah internal kami. Upah 2026 itu harus jelas, dan jangan membuat keruh keadaan”.
Wahyu juga menyinggung dampak meluas dari upah murah yang dipaksakan dengan alasan kepentingan dunia usaha.
“Sekarang upah makin rendah, daya beli turun, dan pedagang kecil banyak yang gulung tikar karena tidak ada yang beli.
Ini fakta yang tidak bisa dibantah,” ungkapnya.
Ia berharap bahwa apa pun kebijakan pusat nantinya, Pemkab Purwakarta harus berani mengambil posisi yang menyeimbangkan keadilan. Bukan hanya tunduk pada tekanan pengusaha.
Singkatnya, Rapat itu ditutup dengan penegasan bahwa FSPMI Purwakarta siap mengawal dua agenda penting besok.
Aksi di MA menjadi simbol perlawanan moral, sementara keikutsertaan dalam Depekab adalah medan strategis untuk memastikan keputusan upah tidak kembali melukai buruh.