Medan,KPonline, – Penjarahan merupakan tindakan kriminal serius dan pelanggaran hukum dan penjarahan dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian, sehingga 16 orang masyarakat yang mengarah minimarket saat bencana alam banjir bandang November 2025 ditangkap.
Polisi sebagai Aparat Penegak Hukum (APH) sigap, apalagi pemilik minimarket orang yang punya pengaruh pastinya mendapatkan perlakuan khusus dan pelaku langsung ditangkap dan diborgol.
Negara tegas: “Tidak boleh” Hukum berdiri tegak, menunjukkan taringnya. Rakyat kecil yang nekat mengambil sebungkus mi instan dianggap ancaman bagi ketertiban, padahal sebungkus mie instan yang dijarah dari minimarket saat bencana hanya untuk bertahan hidup, sementara perusahaan minimarket yang telah beroperasi bertahun-tahun adakah peduli kepada masyarakat sekitarnya memberikan bantuan kepada berbentuk dana Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau yang lazim disebut Corporate Social Responsibility (CSR), dimungkinkan tidak pernah, dan meskipun tidak pernah adakah masyarakat lingkungannya melakukan tuntutan hingga melakukan aksi unjuk rasa.
Entah mengapa, hukum yang sama sering tiba-tiba menjadi tumpul ketika berhadapan dengan orang yang berkuasa dan punya banyak uang serta jelas sebagai pelaku perusak hutan. Tidak ada sirine meraung, tidak ada pasukan khusus dikerahkan. Pohon-pohon tumbang tanpa perlawanan, seolah-olah rimba raya itu benda mati yang tak punya hak untuk dipertahankan.Seluruh Aparat Penegak Hukum (APH) menjadi loyo seperti laki-laki impoten yang tidak bisa ereksi serta rezakulasi.
Kayu hilang berton-ton, izin misterius muncul dan lenyap, jejak-jejak alat berat mencabik tanah, namun jarang sekali terdengar kata “penjarahan.” Semua berubah menjadi istilah yang lebih halus, “pengelolaan, pemanfaatan, kerja sama, hingga sesuai prosedur.
Seakan-akan, merampas harta negara dalam bentuk dua ratus gram makanan instan adalah dosa besar, tapi merampas paru-paru bumi bisa dinegosiasikan.
Nilai sebungkus mie instan dengan ribuan hektar hutan tentu berbeda, uang sebungkus mie instan tidak bisa dibagi, tidak mampu meredam langkah aparat penegak hukum
dan tidak mampu membungkam sura para aparat penegak hukum, sementara uang dari ribuan hektare hutan mampu membeli segalanya, termasuk membeli nyawa manusia. Yang lebih sadis terkait penjarahan minimarket ini seorang pejabat berkata” Logistik cukup, hanya akses yang sulit “asal bicara seperti orang kentut, tanpa melihat fakta bahwa tidak ada yang sulit untuk mendistribusikan bantuan, bisa jalur udara bila jalur darat dan air sulit dilalui, karena rakyat sudah membelikan alat transportasi udaranya.
Ada ironi yang menghantui, ketika rakyat kecil lapar, hukum keras menghantam mereka; namun ketika yang lapar adalah segelintir orang berkuasa,lapar kuasa, lapar lahan, lapar keuntungan hukum mendadak kehilangan suara.
Hutan adalah minimarket raksasa yang tidak punya CCTV. Ia tidak melapor, tidak menjerit, tidak membuat konferensi pers. Karena itu penjarahannya dianggap “aman”.
Padahal rerimbunnya menyimpan hidup jutaan makhluk, menyimpan air bagi desa-desa, menyimpan udara segar bagi kota-kota, menyimpan masa depan bangsa. Jika mengambil satu bungkus mi instan adalah kejahatan, bagaimana dengan mengambil ribuan hektare masa depan?
Sampai kapan standar ganda ini dibiarkan, Sampai kapan hukum berdiri tegak hanya untuk yang lemah, dan berlutut ketika berhadapan dengan kekuatan kekuasaan.
Karena sebenarnya, negeri ini tidak sedang kekurangan aturan. Yang kurang adalah keberanian untuk menegakkan yang benar, meski itu berarti menghentikan tangan-tangan yang terbiasa merasa aman ketika menjarah hutan. (Anto Bangun)