Purwakarta, KPonline – Sudah lebih dari satu dekade, isu upah minimum menjadi medan tarik-menarik antara kepentingan buruh dan pengusaha. Pemerintah yang berdiri di tengah seakan menjadi penengah, namun seringkali lebih condong kepada kepentingan investasi.
Untuk tahun 2026 mendatang, serikat-serikat pekerja seperti FSPMI afiliasi KSPI dan KSPSI AGN beserta konfederasi lainnya secara tegas menuntut kenaikan upah minimum sebesar 8,5 hingga 10,5 persen.
Seperti yang sudah terjadi, jika kenaikan upah tidak sesuai dengan seperti apa yang diharapkan, mogok nasional pun dilakukan.
Mogok nasional bukan sekadar aksi berhenti bekerja. Ia adalah bahasa protes, seruan terakhir setelah diplomasi dan lobi tak lagi didengar.
Dan Mogok nasional bukanlah fenomena baru dalam sejarah pergerakan buruh Indonesia. Catatan menunjukkan bahwa sejak awal 2000-an, aksi mogok kerja nasional telah menjadi instrumen politik ekonomi kaum pekerja untuk mengimbangi dominasi kapital.
Salah satu momentum terbesar adalah Mogok Nasional 2012, dimana lebih dari dua juta buruh di 21 provinsi menuntut penghapusan outsourcing dan kenaikan upah minimum. Jalan tol lumpuh, kawasan industri berhenti beroperasi, dan pemerintah akhirnya merespons dengan kebijakan yang lebih berpihak meski sementara.
Kemudian tahun 2013 dan 2014, aksi serupa kembali nyata. Namun seiring berjalannya waktu, represi terhadap gerakan buruh meningkat.
Banyak pimpinan serikat yang dikriminalisasi, bahkan perusahaan-perusahaan besar mulai menggunakan taktik union busting, yakni pemecatan sepihak terhadap pengurus serikat agar organisasi buruh melemah.
Meski begitu, semangat mogok nasional tak pernah padam. Ia selalu muncul ketika ketidakadilan sudah mencapai puncak.
Bagi banyak orang di luar gerakan buruh, mogok nasional kerap dipersepsikan sebagai tindakan anarkis atau penghambat ekonomi. Padahal, dalam pandangan kaum pekerja, mogok adalah bentuk pendidikan politik tertinggi. Ia mengajarkan solidaritas, keberanian, dan kesadaran kelas.
“Buruh sadar bahwa tanpa mereka, roda ekonomi berhenti. Kesadaran itu yang menjadi bahan bakar perlawanan” Sehingga bisa dikatakan, mogok nasional adalah cermin dari kekuatan kolektif yang selama ini dipinggirkan oleh narasi pembangunan yang hanya berpihak pada investor.
Ketika buruh mogok, bukan semata karena mereka ingin merugikan perusahaan. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bagian vital dari sistem produksi, dan bahwa tanpa kerja mereka, tidak ada keuntungan yang bisa diraih.
Dampak mogok nasional, bila terjadi, jelas tidak kecil. Dalam satu hari mogok nasional, ribuan lini produksi bisa terhenti. Tapi situlah kehidupan kembali berdenyut dalam bentuk yang paling jujur, dimana sebuah perlawanan yang lahir dari harapan akan keadilan.
Namun yang lebih penting, mogok nasional mampu mengguncang opini publik dan sejarah menunjukkan bahwa mogok nasional tak pernah gagal menyampaikan pesan, meski sering dihadapi dengan intimidasi dan pelabelan negatif.
Jika pemerintah masih menutup mata terhadap tuntutan 8,5-10,5 persen, maka suara mesin yang berhenti bukanlah tanda kemalasan. Melainkan tanda kesadaran. Karena di balik mogok nasional, ada satu pesan sederhana namun mendalam, yaitu “tanpa buruh, tak ada produksi; tanpa keadilan, tak ada perdamaian”.
Dalam konteks ini, mogok nasional bukanlah pilihan ekstrem, melainkan langkah logis dalam perjuangan.