Mengenal Upah Layak, Hak Dasar Pekerja untuk Hidup Bermartabat dan Sejahtera

Mengenal Upah Layak, Hak Dasar Pekerja untuk Hidup Bermartabat dan Sejahtera

Purwakarta, KPonline-Istilah upah layak kerap muncul dalam setiap pembahasan mengenai kesejahteraan buruh dan kebijakan ketenagakerjaan. Namun, tidak semua memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan upah layak dan mengapa hal itu menjadi begitu penting bagi jutaan pekerja di Indonesia.

Secara sederhana, upah layak adalah jumlah penghasilan yang memungkinkan seorang pekerja dan keluarganya hidup dengan standar yang manusiawi, bukan sekadar bertahan hidup. Upah layak tidak hanya mencakup kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal, tetapi juga biaya pendidikan anak, kesehatan, transportasi, hingga rekreasi sederhana.

Konsep upah layak itu sendiri telah diatur dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa “Setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”

Artinya, pemerintah memiliki kewajiban memastikan upah minimum yang ditetapkan setiap tahun benar-benar merepresentasikan kebutuhan hidup layak (KHL), bukan semata mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Bagi kelas pekerja, perbedaan antara upah minimum dan upah layak sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, upah minimum sering kali hanya mencukupi kebutuhan hidup satu orang pekerja, sedangkan upah layak idealnya mampu menanggung kehidupan keluarga pekerja, termasuk istri dan dua anak.

Sebuah studi yang dilakukan Lembaga Kajian Ekonomi dan Sosial (2025) menunjukkan bahwa di wilayah industri seperti Purwakarta, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) seorang pekerja mencapai sekitar Rp6,2 hingga Rp7 juta per bulan, sementara upah minimum kabupaten masih berada di kisaran Rp4,5 Juta. Selisih ini mencerminkan bahwa banyak buruh masih hidup dalam keterbatasan, bahkan kekurangan.

Selain itu, kenaikan upah yang mengarah pada standar layak bukan hanya menguntungkan buruh, tetapi juga berdampak positif bagi perekonomian nasional. Berikut beberapa manfaat penting dari penerapan upah layak:

1. Meningkatkan Daya Beli Masyarakat
Ketika pekerja menerima penghasilan yang layak, daya beli meningkat. Uang yang mereka keluarkan untuk kebutuhan rumah tangga kembali menggerakkan ekonomi lokal. Mulai dari pasar tradisional, transportasi, hingga sektor jasa kecil.

2. Mengurangi Kemiskinan Struktural
Upah layak menjadi alat efektif untuk menekan angka kemiskinan di perkotaan dan pedesaan. Buruh yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tidak lagi bergantung pada utang konsumtif atau bantuan sosial.

3. Mendorong Produktivitas dan Loyalitas
Pekerja yang merasa dihargai dan sejahtera cenderung lebih produktif, loyal, dan termotivasi. Hal ini terbukti dalam sejumlah perusahaan yang mengadopsi prinsip living wage di Eropa dan Asia.

4. Menumbuhkan Stabilitas Sosial dan Ekonomi. Dimana Upah yang layak juga mengurangi potensi gejolak sosial seperti aksi mogok kerja atau unjuk rasa. Dengan begitu, dunia usaha dapat berjalan stabil dan investor pun merasa aman.

Namun, meski secara konsep sudah jelas, tantangan dalam mewujudkan upah layak masih besar. Banyak pengusaha beralasan biaya produksi akan melonjak bila upah dinaikkan, sementara pemerintah sering kali menempatkan stabilitas investasi sebagai prioritas utama. Akibatnya, kenaikan upah sering tidak sejalan dengan lonjakan harga kebutuhan pokok.

Selain itu, pernyataan Luhut soal usulan agar pemerintah tak diatur soal upah oleh organisasi buruh itu beberapa waktu lalu, tidak mencerminkan semangat dialog sosial yang konstruktif.

Di sisi lain, belum semua daerah memiliki perhitungan KHL yang akurat dan transparan. Padahal, komponen KHL, mulai dari kebutuhan pangan, sandang, papan, transportasi, hingga pendidikan mestinya disesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan.

Serikat pekerja di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya FSPMI-KSPI, dan KSPSI, terus mendesak agar pemerintah memperkuat mekanisme survei KHL dan melibatkan pekerja dalam proses penghitungan. Tanpa itu, angka upah minimum akan selalu tertinggal dari kenyataan hidup buruh di lapangan.

kuncinya tetap pada keberpihakan kebijakan negara. Pemerintah harus berani menempatkan living wage sebagai indikator utama kesejahteraan tenaga kerja, bukan sekadar upah minimum tahunan yang sering kali politis.