Jakarta, KPonline-Asbes masih menghantui Indonesia. Ketika lebih dari 60 negara telah melarang total penggunaannya, Indonesia justru masih mengimpor asbes, dan hal itu yang terus dikritik oleh berbagai lembaga internasional. WHO (2024) menegaskan bahwa tidak ada batas aman paparan asbes karena serat mikroskopisnya dapat menetap seumur hidup di paru-paru dan memicu kanker paru, asbestosis, hingga mesothelioma, penyakit mematikan yang baru muncul 20–40 tahun setelah paparan.
Bahaya itu tidak datang dari situasi ekstrem. Ia muncul dari aktivitas sederhana: memotong, menggergaji, atau bahkan menyapu atap asbes yang sudah menua. Seratnya beterbangan tanpa terlihat, terhirup tanpa disadari, dan menunggu bertahun-tahun untuk merusak tubuh manusia.
Sementara negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Brasil telah melarang sepenuhnya seluruh jenis asbes, Indonesia masih terpaku pada PP 74/2001 dan Permenaker 3/1985 yang hanya melarang crocidolite (asbes biru). Jenis chrysotile, yang paling banyak digunakan di Indonesia, tetap dilegalkan meski risikonya terbukti sama berbahaya.
Menjawab ancaman yang terus menggunung, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar Seminar Nasional Bahaya Asbes di Hotel Gren Alia, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (12/12). Acara ini menjadi penanda resmi peluncuran Program Kesadaran Bahaya Asbes 2025–2027, sebuah inisiatif besar untuk mendorong pelarangan total asbes di Indonesia.
Dalam sambutannya, Iwan Kusmawan sebagai narasumber sekaligus Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN) menyampaikan pengalaman panjang perjuangan advokasi bahaya asbes di dunia perburuhan, termasuk sulitnya mendapatkan diagnosis penyakit akibat kerja karena minimnya dokter yang berani menyatakan kasus terkait paparan asbes.
“Meneliti persoalan asbes itu tidak mudah, dan mendapatkan kompensasi bagi korban juga tidak mudah. Tidak ada dokter yang berani menyatakan seseorang terkena penyakit akibat paparan asbes,” ujar Iwan.
Ia menegaskan pentingnya sinergi antara KSPI dan berbagai organisasi pendukung, termasuk jaringan internasional yang selama ini membantu penelitian dan advokasi di Indonesia.
“Upaya melarang, menghentikan, bahkan mencabut seluruh izin terkait asbes harus dilakukan bersama. Kita tidak bisa melawan kapitalis sendirian. Ini menyangkut nyawa pekerja dan keluarganya,” tegasnya.
Iwan juga menceritakan bagaimana paparan asbes bahkan dapat menular secara tidak langsung melalui pakaian kerja. Banyak kasus di mana anak pekerja terpapar hanya karena sering digendong ayahnya yang pulang dari pabrik dengan pakaian berdebu serat asbes.
Menurut Iwan, WHO berulang kali mengingatkan bahwa satu-satunya cara aman mengelola asbes adalah menghentikan penggunaannya. Negara yang telah melarang asbes terbukti mampu menurunkan angka penyakit sekaligus menekan biaya kesehatan publik jangka panjang.
“Asbes tidak hanya membahayakan pekerja, tetapi juga mencemari tanah, air, dan udara. Limbahnya sulit dikelola dan menjadi ancaman lingkungan yang bertahan puluhan tahun,” tegasnya.
Iwan juga menjelaskan bahaya serat asbes memang tak terlihat, tetapi dampaknya nyata. Mulai dari merenggut kesehatan pekerja, keluarga, dan masa depan masyarakat yang tidak pernah diberi informasi layak. Ia menegaskan bahwa kampanye ini adalah langkah awal menuju Indonesia yang bebas asbes.
Dengan regulasi yang lebih kuat, edukasi publik, serta inovasi bahan pengganti yang aman, Indonesia memiliki kesempatan untuk benar-benar mengakhiri bahaya yang tak terlihat itu.
Kini, ketika suara KSPI prihal bahaya asbes semakin lantang dalam seminar ini, Indonesia harus menentukan sikap. Terus bergantung pada bahan mematikan ini, atau bergerak menuju masa depan yang lebih sehat dan manusiawi.