Menelusuri Aksi Mogok Kerja Terbesar dalam Sejarah Indonesia

Menelusuri Aksi Mogok Kerja Terbesar dalam Sejarah Indonesia

Di Indonesia, suara kaum buruh bukan sekadar gema dari pabrik-pabrik, ruang publik dan jalur kereta api. Ia adalah gema sejarah. Mulai dari masa kolonial hingga era industri modern, tentang perlawanan terhadap ketimpangan dan tuntutan atas keadilan sosial. Sepanjang perjalanan republik ini, aksi mogok kerja menjadi salah satu cara paling nyata dan ampuh untuk menandai garis batas antara ketidakadilan dan keberanian.

Namun, diantara ratusan kali buruh menghentikan mesin atau menutup pintu pabrik, ada beberapa momen yang tercatat dalam sejarah sebagai “mogok terbesar” dan itu bukan hanya karena jumlah peserta, melainkan hanya karena dampaknya terhadap politik, ekonomi, dan arah bangsa.

Tanggal 1 Desember 1957 menjadi hari yang mencatat sejarah besar, yaitu mogok kerja nasional selama 24 jam terhadap seluruh perusahaan Belanda di Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia saat itu menginstruksikan penghentian total aktivitas kerja sebagai bentuk protes terhadap kegagalan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai masalah Irian Barat (Papua).

Aksi ini tidak lahir dari ruang kosong. Sejak awal 1950-an, ketegangan antara Indonesia dan Belanda terus meningkat akibat penolakan Belanda menyerahkan Irian Barat. Presiden Soekarno kemudian menggunakan segala cara. Mulai dari diplomasi, politik, dan akhirnya mobilisasi rakyat pekerja. Dimana itu semua dilakukan untuk menekan kekuasaan ekonomi kolonial yang masih mengakar kuat.

Saat itu, para buruh berada di garis depan. Di pabrik-pabrik perkebunan, perusahaan pelayaran, dan kantor-kantor dagang Belanda, aktivitas berhenti total. Dari data pemerintah kala itu, kerugian yang dialami perusahaan Belanda diperkirakan mencapai lebih dari Rp 100 juta, nilai yang sangat besar untuk ukuran ekonomi tahun 1957.

Tujuan aksi ini jelas, yaitu menekan Belanda agar segera menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Dan dampaknya pun luar biasa. Selepas mogok itu, gelombang nasionalisasi perusahaan asing dimulai. Perusahaan-perusahaan Belanda diambil alih oleh buruh dan pemerintah Indonesia, menandai babak baru dalam ekonomi nasional.

Aksi mogok ini tidak hanya dianggap sebagai bentuk perlawanan ekonomi, tetapi juga tindakan politik terbesar kaum buruh dalam sejarah Indonesia. Di banyak daerah, terutama di Sumatera dan Jawa, buruh membentuk panitia-panitia pengambilalihan yang kemudian menjadi cikal bakal perusahaan negara.

Sebelumnya, pada Mei 1923, ribuan buruh kereta api melakukan aksi mogok besar-besaran menuntut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja.

Aksi itu dikenal sebagai “pemogokan buruh kereta api 1923”, dan menjadi salah satu tonggak pergerakan buruh modern di Hindia Belanda. Saat itu, buruh kereta api memiliki posisi strategis — mereka mengendalikan transportasi utama yang menjadi tulang punggung ekonomi kolonial.

Pemogokan itu menghentikan operasi kereta di berbagai wilayah, melumpuhkan jalur logistik, dan membuat pemerintah kolonial panik. Pemerintah merespons dengan keras: penangkapan, pemecatan massal, dan pengawasan ketat terhadap serikat buruh. Namun, benih perjuangan telah tertanam.

Dari mogok inilah, kesadaran kelas pekerja mulai tumbuh kuat. Serikat-serikat buruh seperti VSTP (Vereeniging van Spoor-en Tramweg Personeel) pimpinan semaun menjadi pusat perlawanan yang kelak bertransformasi menjadi kekuatan politik pada masa pergerakan kemerdekaan.

Kemudian, memasuki abad ke-21, wajah gerakan buruh pun berubah. Namun, semangatnya tetap sama. Dalam tiga dekade terakhir, Indonesia berulang kali mencatat gelombang mogok nasional yang melibatkan jutaan pekerja dari berbagai sektor.

Tanggal 3 Oktober 2012, federasi-federasi serikat pekerja besar seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang dinakhodai Said Iqbal mengorganisir mogok nasional serentak di ratusan kawasan industri. Mereka menuntut penghapusan sistem outsourcing, kenaikan upah minimum, serta jaminan kesehatan dan pensiun untuk pekerja.

Menurut laporan Voice of America (VOA) dan Reuters, aksi ini melibatkan sekitar 2 hingga 2,8 juta pekerja di lebih dari 80 kabupaten/kota. Di Bekasi, Karawang, Tangerang, hingga Surabaya, ribuan pabrik tutup selama satu hari penuh.

“Ini adalah mogok nasional terbesar sejak reformasi,” tulis VOA dalam laporannya. “Pabrik-pabrik otomotif, elektronik, dan tekstil berhenti total. Buruh turun ke jalan dengan spanduk menuntut keadilan.”

Dampak ekonominya langsung terasa. Produksi industri melambat, logistik terganggu, dan media internasional menyoroti kebangkitan gerakan buruh Indonesia sebagai kekuatan politik yang tak bisa diabaikan.

Setahun kemudian, pada 31 Oktober – 1 November 2013, federasi buruh kembali mengumumkan mogok nasional dua hari. Klaim partisipasi mencapai 1,5 hingga 3 juta pekerja di seluruh Indonesia. IndustriALL Global Union, organisasi buruh internasional pun menyebut aksi tersebut sebagai salah satu mobilisasi terbesar di Asia Tenggara pada dekade itu.

Tuntutan utama tetap sama, kenaikan upah minimum 2014 dan penghapusan sistem kontrak dan outsourcing. Dimana dalam giatnya, di Jakarta, ribuan buruh berkumpul di depan Istana Negara. Sedangkan, di Cikarang, Karawang, Purwakarta dan Tangerang, aktivitas produksi pabrik-pabrik besar terhenti.

Selanjutnya, pada akhir November 2015, aksi mogok nasional kembali digelar selama empat hari (24–27 November).

Kali ini, isu yang diangkat adalah penolakan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, yang dinilai membatasi kenaikan upah dan melemahkan peran serikat dalam negosiasi.

FSPMI-KSPI mengklaim keterlibatan lebih dari 3 juta pekerja di seluruh Indonesia. Dan laporan IndustriALL Global Union menyebutkan bahwa aksi ini menjadi yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir, dengan dampak luas terhadap industri manufaktur dan logistik.

Alhasil, setelah tekanan publik meningkat, sejumlah daerah akhirnya meninjau ulang penetapan upah minimum, dan isu pengupahan kembali menjadi agenda utama nasional.

Selain mogok massal di pulau Jawa, ada pula contoh mogok kerja yang berdampak besar meski dengan peserta lebih sedikit. Salah satunya adalah pemogokan panjang buruh PT. Freeport Indonesia di Papua pada awal 2010-an.

Aksi ini melibatkan ribuan pekerja tambang dan berlangsung selama berbulan-bulan. Meski jumlahnya tidak mencapai jutaan, dampaknya sangat signifikan terhadap produksi tembaga dan emas nasional.

Menurut laporan libcom.org, aksi ini menyebabkan penurunan produksi hingga 60%, serta memaksa perusahaan dan pemerintah melakukan negosiasi intensif mengenai upah, keselamatan kerja, dan hak berserikat. Dari sini terlihat bahwa “besar” bisa diukur bukan hanya dari jumlah peserta, tetapi dari besarnya efek ekonomi dan politik yang ditimbulkan.

Jika ditelusuri dari masa ke masa, Isu utama dari aksi-aksi besar tersebut relatif konsisten:

1. Kenaikan upah dan biaya hidup layak.

2. Penolakan sistem outsourcing dan status kerja tidak pasti.

3. Perlindungan jaminan sosial (BPJS, pensiun, kesehatan).

4. Penolakan terhadap kebijakan yang dianggap melemahkan hak pekerja (UU Cipta Kerja/Omnibus Law).

Dari mogok kolonial hingga aksi abad ke-21, tuntutan buruh selalu bermuara pada satu hal, yaitu kehidupan yang lebih manusiawi dan adil bagi mereka (Kaum buruh) yang menggerakkan roda ekonomi.

Masih dalam hal yang sama, bergeser ke Oktober 2024, federasi-federasi besar kembali mengumumkan rencana mogok nasional yang disebut-sebut akan melibatkan hingga 5 juta buruh di seluruh Indonesia.

Rencana ini dijadwalkan pada 11–12 atau 25–26 November 2024, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan upah dan regulasi ketenagakerjaan terbaru.

Media seperti Liputan6 pun melaporkan bahwa pengumuman ini mendapat perhatian luas publik dan dunia usaha. Namun yang jelas, pengumuman rencana ini menunjukkan bahwa gerakan buruh Indonesia tetap hidup, adaptif, dan siap bersuara di tengah tantangan ekonomi global.

Bagi sejarah buruh Indonesia, setiap mogok besar bukan sekadar peristiwa. Melainkan titik refleksi tentang demokrasi ekonomi dan sosial.

Yang pasti, setiap mogok besar di Indonesia adalah bagian dari satu kisah panjang tentang perjuangan kelas pekerja untuk mendapatkan tempat yang layak di negerinya sendiri.