Surabaya, KPonline – Tanggal 16 September 2025, saya berkesempatan hadir di Surabaya, Jawa Timur, untuk menjadi narasumber dalam kegiatan bertajuk “Capacity Building and Awareness Program to Improve the Knowledge and Skills of the Members and Leaders to the Just Energy Transition”. Acara ini diselenggarakan oleh tiga serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan yang berafiliasi dengan Public Services International (PSI), yakni SP PLN, PP-IP, dan SPNP.
Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari peluncuran kertas posisi Energi Transisi Jalur Publik (Article 33 Scenario) pada 25 Juni 2025 di Jakarta. Kertas posisi tersebut menjadi tonggak awal advokasi serikat pekerja dalam mendorong penerapan pendekatan Public Pathway, sebuah gagasan yang menempatkan transisi energi di bawah kendali publik demi keadilan sosial dan keberlanjutan.
Dalam sesi yang saya fasilitasi, saya memulai dengan pertanyaan sederhana kepada peserta. “Apa yang pertama kali terlintas di benak Anda ketika mendengar kata transisi energi?” Pertanyaan ini memantik diskusi menarik, karena masih ada yang mengaitkannya sebatas pada teknologi atau pergantian sumber energi dari fosil ke terbarukan.
Padahal, transisi energi bukan sekadar soal teknis mengganti sumber energi. Ia adalah proses perubahan ekonomi dan sosial berskala besar yang akan mengguncang pasar kerja dan memengaruhi jutaan pekerja di berbagai sektor. Itulah mengapa kita menekankan kata “adil” dalam transisi energi. Adil berarti tidak ada pekerja yang tertinggal, tidak ada yang kehilangan pekerjaan tanpa perlindungan, dan tidak ada yang kehilangan penghidupan tanpa jalan keluar yang layak. Ini mencakup perlindungan sosial, jaminan pekerjaan yang layak, pelatihan ulang bagi pekerja yang terdampak, serta partisipasi aktif pekerja dalam pengambilan keputusan.
Saya menegaskan bahwa jika serikat pekerja pasif, maka seluruh proses perubahan ini akan dikendalikan sepenuhnya oleh pengusaha dan pemerintah tanpa suara pekerja. Dalam konteks ketenagalistrikan, hal ini sangat krusial karena sektor ini berada di jantung sistem energi nasional. Para pekerja di sektor ini bukan hanya operator teknis, tetapi juga penjaga layanan publik vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena itu, mereka harus menjadi bagian dari percakapan sejak awal, bukan sekadar penerima dampak di akhir.
Bagi serikat pekerja, keterlibatan dalam isu transisi energi adalah cara untuk mempertahankan relevansi di tengah perubahan zaman. Dunia sedang bergerak menuju dekarbonisasi, pembangunan ekonomi hijau, dan investasi energi bersih. Semua ini akan mengubah struktur pekerjaan secara besar-besaran. Jika serikat tidak menyiapkan anggotanya, maka posisi tawar pekerja akan melemah, dan hak-hak mereka akan semakin mudah dikorbankan atas nama efisiensi dan pertumbuhan ekonomi hijau semu. Sebaliknya, bila serikat mengambil peran aktif, kita bisa memastikan bahwa setiap kebijakan dan investasi energi mempertimbangkan nasib para pekerja dan masyarakat terdampak.
Saya melihat antusiasme tinggi dari para peserta. Mereka menyadari bahwa kapasitas organisasi harus diperkuat agar dapat memimpin perubahan, bukan sekadar mengikutinya. Sesi ini mengajak seluruh peserta untuk memandang transisi energi sebagai momentum untuk memperjuangkan model pembangunan yang lebih adil. Energi harus dipandang bukan sebagai komoditas untuk laba, tetapi sebagai hak publik. Dan hanya dengan keterlibatan aktif serikat pekerja, cita-cita transisi energi yang benar-benar adil dapat diwujudkan.
Penulis: Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden KSPI dan FSPMI