Menanti Regulasi Upah 2026, FSPMI Purwakarta Matangkan Strategi dan Persiapan Aksi Besar

Menanti Regulasi Upah 2026, FSPMI Purwakarta Matangkan Strategi dan Persiapan Aksi Besar
Suasana jalannya rapat | foto by Fajar Setiady

Purwakarta, KPonline – Tanpa terasa bulan telah memasuki Agustus 2025, namun regulasi resmi terkait sistem pengupahan tahun 2026 dari pemerintah pusat belum juga terbit. Kondisi ini tentunya menimbulkan ketidakpastian dikalangan buruh atau kelas pekerja, terutama terkait proyeksi kenaikan upah tahun depan (2026).

Merespons situasi tersebut, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kabupaten Purwakarta menggelar rapat koordinasi khusus membahas isu pengupahan. Rapat yang dihadiri jajaran pengurus Konsulat Cabang, Pimpinan Cabang, serta Pimpinan Unit Kerja (PUK) Serikat Pekerja Anggota (SPA) FSPMI se-Purwakarta itu berlangsung di Kantor Konsulat Cabang (KC) FSPMI Purwakarta, Selasa (12/8/2025).

Sekretaris KC FSPMI Purwakarta, Ade Supyani, menegaskan bahwa hingga kini belum ada regulasi resmi dari pemerintah pusat yang menjelaskan skema pengupahan 2026. “Walaupun di tengah padatnya agenda organisasi, kita akan gelar workshop pengupahan di KC FSPMI Purwakarta dalam waktu dekat, tepatnya Kamis (14/8/2025),” ujarnya.

Tak hanya workshop, Ade juga mengungkapkan bahwa di hari yang sama akan dilaksanakan Konsolidasi Ideologi sebagai bagian dari persiapan aksi besar pada 28 Agustus 2025. “FSPMI Purwakarta akan ikut serta dalam aksi ke Jakarta untuk memperjuangkan tuntutan buruh di tingkat nasional,” tegasnya.

Anggota Dewan Pengupahan FSPMI Purwakarta, Elvan Septian, menambahkan bahwa rapat ini menjadi forum penting untuk menyerap masukan dari seluruh PUK terkait rancangan pengupahan 2026, khususnya menyangkut Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) Purwakarta. “Masukan ini akan kita bawa ke rapat Dewan Pengupahan,” jelas Elvan.

Menurutnya, perundingan Dewan Pengupahan di Purwakarta biasanya dilakukan di penghujung tahun, dengan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dijadwalkan pada September. Elvan juga menyoroti penurunan daya beli buruh dalam satu dekade terakhir. “Tahun 2014, dengan upah Rp2,1–Rp2,4 juta, buruh bisa membeli lebih dari 3 gram logam mulia. Sekarang, dengan upah Rp4,8 juta, hanya bisa dapat 2,4 gram emas. Artinya, daya beli kita menurun,” ungkapnya.

Sejalan dengan hal tersebut, perwakilan PUK Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK) FSPMI PT Sumi Indo Wiring Systems, Erwin Agustian, menilai bahwa pembahasan upah selalu berangkat dari KHL dan tuntutan keadilan. Namun, ia menekankan bahwa realitas di lapangan sering kali berbeda. “Rumusan upah itu produk politik, tapi sayangnya sering tidak sesuai dengan (fakta) kebutuhan riil pekerja,” katanya.

Erwin berharap, Kebutuhan Hidup Layak (KHL) harus bisa menjadi indikator utama terkait upah.