Bandung, KPonline-Lembaga Pelindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi kembali dimenangkan oleh pengadilan. Kali ini Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT DKI) yang memutus kemenangan bagi LPKSM Yasa Nata Budi setelah hanya 3 dari 13 pokok gugatan asosiasi industri asbes (FICMA) yang dimenangkan. Minggu, (14/12/2025).
Kemenangan besar LPKSM Yasa Nata Budi ini diperoleh setelah hakim memutuskan baik LPKSM Yasa Nata Budi maupun semua aktivis yang digugat oleh FICMA dinyatakan tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Sebaliknya, majelis hakim yang diketuai Khairul Fuad hanya menyatakan mengabulkan gugatan FICMA sebagian.
“LPKSM, Saya, Ajat, Dhiccy tidak dinyatakan bersalah dan harus membayar ganti rugi yang tidak jelas. Semua tergugat juga tidak perlu meminta maaf, tidak perlu mencabut informasi B3 bahan asbestos. Kami juga bebas dari tuduhan mendiskreditkan krisotil. Kami menang telak atas upaya Slapp yang mereka lakukan,” ujar Leo Yoga Pranata, Perwakilan LPKSM yang juga tergugat.
Menurut kuasa hukum LPKSM Yasa Nata Budi, Avelin Philbertha, putusan hakim semakin memastikan bahwa label dan tanda peringatan B3 mutlak menjadi kewajiban untuk ada disetiap produk asbes rata dan bergelombang. Putusan PT DKI menurutnya sama sekali tidak menganulir putusan MA sebelumnya yang telah memenangkan LPKSM Yasa Nata Budi.
Avelin menjelaskan, dalam putusan MA dikatakan bahwa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 25 Tahun 2021 dinyatakan bertentangan dengan Pasal (2) UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdangaan, dan Pasal 23 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan. Kedua peraturan tersebut menegaskan bahwa barang yang terkait dengan keselamatan, keamanan, dan kesehatan konsumen dan lingkungan hidup harus memuat cara penggunaan, dan simbol bahaya dan/atau tanda peringatan yang jelas dan mudah dimengerti.
“Kewajiban Label dan tanda peringatan B3 sesuai putusan MA tetap harus ditaati kementerian perdagangan. Tidak ada alasan bagi kementerian untuk terus menunda perubahan peraturannya,” ucapnya
Menyambut kemenangan besar LPKSM Yasa Nata Budi, Koordinator Inaban yang juga aktif dalam kampanye B3 Asbes, Darisman mengatakan bahwa kemenangan yang diperoleh adalah kemenangan rakyat Indonesia. Oleh dasar itu menurutnya semua pihak yang membela kepentingan rakyat perlu mempertahankan kemenangan tersebut.
“Kami sadar kemenangan rakyat ini pasti akan terus di ganggu oleh Industri. Karena itu kami juga tidak akan berpangku tangan. Kami akan tetap mengajak semua jaringan untuk mempertahankan dan memaksimalkan kemenangan ini. Termasuk ke jaringan internasional yang juga telah mengirimkan amicus curiae,” ujarnya.
Sejalan dengan Inaban, Direktur Lion Indonesia, Surya Ferdian menegaskan upaya untuk menggerogoti dan meruntuhkan kemenangan yang diperoleh LPKSM Yasa Nata Budi sudah terlihat sejak gugatan FICMA terhadap putusan MA didaftarkan di pengadilan. Bahkan menurutnya serangan terhadap kemenangan LPKSM dilakukan bukan hanya dari industri di dalam negeri melainkan juga telah melibatkan aktor negara lain yang menjanjikan kerjasama dengan pemerintah Indonesia.
“Beberapa waktu lalu ada perwakilan satu pemerintah yang terang-terangan hadir di kementerian dan membuat perjanjian kerjasama yang salah satunya berkenaan dengan kampanye krisotil. Kok bisa sejalan dengan putusan PT DKI yang salah satunya mengatakan krisotil masih dibutuhkan, tidak bahaya, dan sesuai UU ratifikasi konvensi Rotterdam? Tentu bukan kebetulan,” tegasnya.
Keputusan Hakim PT DKI yang memenangkan sebagian gugatan FICMA menurut ketua tim advokasi LPKSM Yasa Nata Budi, Dadan J Priandana sangat mengecewakan dan diluar nalar hukum normal. Menurutnya hakim semestinya memenangkan LPKSM Yasa Nata Budi jika lebih cermat dalam menguji semua dalil yang diajukan para pihak. Serta benar-benar memperhatikan logika dan kasualitas gugatan yang diajukan FICMA terhadap LPKSM Yasa Nata Budi.
“Kasus ini kan berawal dari putusan MA yang menyatakan Permendag 25/2021 dinyatakan bertentangan dengan UU Perdaganan. Ada kecerobohan hakim menerima dalil FICMA bahwa permendag a quo dinyatakan sesuai dengan UU No.10 Tahun 2013 tentang Ratifikasi Konvensi Rotterdam. Karena sejak awal pemeriksaan judicial review yang diajukan LPKSM sama sekali tidak menyangkut ratifikasi Konvensi Rotterdam melainkan tentang perilaku perdagangan,” jelasnya.
Dhiccy Sandewa, salah satu tergugat FICMA menekankan upaya FICMA mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadapnya dan LPKSM Yasa Nata Budi adalah strategi Industri untuk terus menunda hak warga negara memperoleh informasi yang benar dari produsen.
“Penundaan terhadap pemenuhan hak warga apalagi yang telah diputus di dua pengadilan berbeda ini akan memicu pelanggaran HAM jika negara terus abai dan menari di genderang FICMA. Sudah 20 bulan ini industri terus memproduksi dan menyebarkan barang yang harusnya ada label dan tanda peringatan B3 namun tidak mereka lakukan,” ungkapnya.
Dhicci menegaskan kemenangan yang diperolehnya adalah harapan bagi masyarakat untuk dapat menjaga diri dari penyakit akibat asbes. Harapan yang demikian menurutnya harus dilindungi oleh negara dari serangan yang datang asosiasi industri asbes.
“Cabang Yudikatif negara telah memberi landasan hukum yang tegas. Giliran cabang eksekutif yang mengambil tindakan saat ini. Kementerian harus segera membuat aturan yang sejalan. Bukan dengan memanfaatkan situasi dan bermain mata dengan siapapun untuk melemahkan hak publik,” katanya.
Saat ini putusan Kementerian Perdagangan masih terus menunda membuat aturan perubahan sesuai putusan MA yang menyatakan Permendag Nomor 25 Tahun 2021 bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2014 dan PP Nomor 29 Tahun 2021. Kewajiban label dan tanda peringatan B3 berbahasa Indonesia yang jelas dan tegas atas semua produk asbes rata dan bergelombang belum diimplementasikan.
“Alih-alih segera membuat aturan baru, Kemendag justru mengundang LPKSM berhadapan dengan FICMA untuk kembali berdiskusi. Ini namanya mau melanggar undang-undang tapi dengan cara menyalahkan pihak lain,” pungkas Dhicci.